Perdebatan mengenai bentuk negara Indonesia sudah muncul sejak proses kemerdekaan. Sebagai pergumulan politik, wacana semacam itu seolah lestari sampai saat ini, khususnya di lingkungan umat Islam Indonesia. Penelitian Pusat Pengkajian Islam, Demokrasi dan Perdamaian (PusPIDeP) dan Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta membuktikan itu.
Dalam penelitian dua lembaga ini di 15 kota Indonesia dan melibatkan 450 ulama, ditemukan data bahwa 71,56 persen ulama menerima konsep negara-bangsa. Sementara itu16,44 persen menyatakan menolak dan sisanya tidak teridentifikasi sikapnya. Hasil penelitian ini diterbitkan dalam dua buku berjudul Ulama dan Negara-Bangsa serta Ulama Politik dan Narasi Kebangsaan. Kedua buku itu diluncurkan pada Sabtu, 29 Februari 2020 di Kampus UIN Sunan Kalijaga.
Di sela acara peluncuran buku, Direktur Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Noorhaidi Hasan kepada VOA menyebut, negara harus memberi perhatian lebih pada 16,44 persen ulama itu.
“Memang ada ancaman, katakanlah yang 16,4 persen itu. Tetapi yang benar-benar menjadi ancaman, itu adalah ulama yang radikal dan ekstremis, angkanya 4 persen dan 2,6 persen. Itu benar-benar ancaman, saya kira. Karena ideologis betul itu penolakannya. Argumen tentang kedaulatan Tuhan, khilafah, macam-macam. Itu, mau tidak mau, harus ditangani oleh negara,” kata Noorhaidi.
Namun, langkah penanganannya harus terukur. Dalam bahasa Noorhaidi, tidak perlu overdosis. Data bahwa sekitar 71 persen ulama telah menerima konsep negara-bangsa, menjadi dasar pilihan sikap terukur itu.
Pendekatan perlu dilakukan kepada ulama penolak, untuk menjelaskan konsep negara-bangsa. Dalam bahasa agama, Noorhaidi menyebut bentuk negara Indonesia saat ini adalah mitsaqan ghaliza, atau konsensus bersama yang harus dihormati semua orang. Di sisi lain, di dalam 71 persen ulama yang menerima konsep negara-bangsa juga memiliki derajat penerimaan berbeda. Noorhaidi memberi contoh, ada sebagian ulama di kelompok ini yang belum bisa bersikap lebih toleran kepada umat agama lain.
Mayoritas Ulama Indonesia Moderat
Dari jenis kelamin, 76,22 persen responden adalah ulama laki-laki dan 23,78 persen perempuan. Sebanyak 22,22 persen terafiliasi dengan NU, 15,78 persen terafiliasi Muhammadiyah, 5,33 persen mengidentifikasi diri sebagai Ahmadiyah atau Syiah, dan 35,56 persen sisanya berafiliasi dengan 60 organisasi keagamaan di luar itu.
Penelitian ini juga mengelompokkan ulama dari sisi karakter. Hasilnya, 34 persen ulama termasuk moderat, 23,33 persen inklusif, 9,33 persen termasuk konservatif, 9,79 persen berkarakter eksklusif, 4,89 progresif, 4 persen bersikap radikal dan 2,67 termasuk ekstrem.
Ulama progresif yang berjumlah 4,9 persen adalah mereka yang telah tuntas dalam soal-soal terkait konsep negara-bangsa. Artinya di kalangan mereka tidak ada lagi persoalan apapun. Fakta bahwa mayoritas ulama di Indonesia cenderung moderat, harus disyukuri bersama.
“Pekerjaan rumah hari ini, saya kira adalah pelan-pelan menjawab semua persoalan satu-persatu. Di samping melalui deradikalisasi atau kampanye Islam moderat, juga perbaikan ekonomi, pemerataan akses dan seterusnya, yang akan berpengaruh terhadap keutuhan penerimaan negara-bangsa,” tambah Noorhaidi.
Pakar politik Islam ini juga meminta 71 persen ulama yang telah menerima konsep negara-bangsa, untuk bersama-sama bekerja. Mereka harus lebih keras menyebarkan kampanye Islam sebagai rahmat untuk seluruh alam dan Islam yang kompetibel dengan negara bangsa.
“Kadang-kadang yang lebih kencang suaranya di media sosial itu kan yang 16 persen itu, sehingga suara ulama yang 71 persen tertutup. Kita ingin, mereka lebih kencang bersuara, supaya Islam yangrahmatan lil alamin, Islam yang wasathiyah itu betul-betul menonjol, artinya Islam yang menerima negara-bangsa itu,” lanjut Noorhaidi.
Silang Pendapat Sejak Lama
Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD menyebut, silang pendapat soal bentuk negara sudah muncul sejak republik berdiri. Namun, dengan proses dialog bersama, para ulama yang mewaliki umat Islam akhirnya setuju mendahulukan kepentingan nasional. Mahfud MD hadir dalam peluncuran buku ini sebagai pembicara kunci.
“Para ulama itu menerima negara-bangsa, karena memang Islam sendiri tidak mengajarkan satu sistem negara Islam yang tertentu. Ini yang 71 persen seperti dikatakan Pak Noorhaidi, mereka menganggap negara kebangsaan itu realistis. Lebih mudah dilaksanakan, lebih mudah diterima,” kata Mahfud.
Belakangan ini, kata Mahfud, banyak pihak menilai pemerintah cenderung menekan umat Islam dalam sisi tertentu. Mahfud bercerita, dalam sebuah diskusi dirinya pernah diprotes oleh peserta yang menganggap negara melarang umat Islam menutup aurat. Mahfud menolak tegas klaim itu. Dia menyebut, pemerintah mempersilakan setiap warga negara berpakaian sesuai yang dikehendaki. Yang tidak boleh, tambahnya, adalah upaya sekelompok orang yang mendikte orang lain dalam berpakaian. Misalnya klaim bahwa memakai cadar adalah yang paling sesuai.
Mahfud menyebut, di Indonesia terdapat banyak mode pakaian muslimah sejak lama.
“Pakaian itu adalah produk budaya. Soal menutup auratnya itu sama. Dulu anggota Muslimat atau Aisyiyah itu, coba lihat foto-foto sebelum tahun 80-an, kalau memakai jilbab cuma kain ditutupkan begitu saja. Nggak pernah ada orang bilang mereka kafir,” lanjut Mahfud.
Mahfud juga memaparkan, keputusan ulama pada 1945 untuk menerima negara kebangsaan seperti yang sekarang dipakai, adalah berkah bagi umat Islam sendiri. Karena ada banyak versi bentuk negara dalam sejarah Islam, umat tidak perlu berdebat akan memakai yang mana. Dengan menerima negara-bangsa, umat Islam Indonesia sampai saat ini juga bebas menjalankan ajaran dan hukum Islam dalam kehidupan sehari-hari.
Perlu Pemahaman Lebih Dalam
Masykuri Abdillah, staf khusus Wakil Presiden RI yang turut menjadi pembicara peluncuran buku ini menyebut, Indonesia dikenal sebagai negara yang toleran.
“Hubungan antarkelompok agama maupun kelompok dalam agama, itu toleran. Kedua, dalam kaitan dengan negara, umat Islam di Indonesia menerima negara dan demokrasi. Ketiga, dalam kaitan modernisme, umat Islam di Indonesia bisa menerima modernisme, dengan catatan tentu saja ada penyesuaian hal-hal yang tidak sesuai dengan ajaran agama,” papar Masykuri.
Di samping muslim moderat, Masykuri mengakui ada kelompok konservatif di Indonesia yang ingin mengembalikan praktik-praktik keagamaan lama. Kelompok ini memiliki dua cabang, yaitu puritan dan non-puritan. Kelompok yang puritan secara akidah, misalnya Wahabi dan Salafi. Lalu, ada pula puritan secara politik, seperti Ikhwanul Muslimin dan Hisbut Tahrir. Konservatif nonpuritan diwakili misalnya oleh jamaah tabligh, yang jumlahnya cukup banyak di Indonesia.
Masykuri meminta masyarakat untuk tidak salah paham terhadap kelompok seperti ini di Indonesia.
“Kita kadang-kadang mempersamakan antara konservatif, radikal dan ekstrem. Itu yang menjadi masalah, padahal beda sekali,” tambahnya.
Yang harus diwaspadai, lanjut Masykuri adalah kelompok ekstrem. Kelompok ini menilai, siapapun yang berada di luar mereka memiliki pemahaman yang salah dan harus dilawan.
“Yang lain salah dan karena itu harus diubah, dilawan, dan dianggap takfir. Kalau menggunakan kekerasan, itu teror. Karena itu terorisme disebut violent extrimism,” ujar Masykuri.
Rektor Universitas Nahdlatul Ulama, Purwo Santoso meminta hasil penelitian ini tidak berhenti sebagai pemaparan data terbaru dan peta ulama.
“Perlu dilanjutkan tindakan-tindakan nyata dan program-program kerja di lapangan, menggandeng badan dan lembaga di seluruh wilayah, untuk mengatasi permasalahan yang ada,” ujarnya.
Purwo Santoso juga mengusulkan penciptaan mata kuliah pendidikan karakter, yang menyatukan ilmu dan amal, meramu pendidikan agama dan Pancasila, agar radikalisme semakin sempit geraknya. [ns/uh]