Sejumlah aktivis media mengkritik Mesir atas "penindasan" terhadap para jurnalis menyusul penangkapan seorang kartunis dan seorang reporter.
Otoritas Mesir menangkap para jurnalis tersebut sebagai bagian dari penindakan yang lebih luas sebagai tanggapan terhadap seruan aksi unjuk rasa terkait penanganan ekonomi yang dilakukan oleh Presiden Abdel Fattah el-Sissi.
Aksi itu tidak terjadi, tetapi otoritas telah menangkap sekitar 125 orang, termasuk Khaled Mamdouh dan Ashraf Omar. Keduanya ditahan tanpa komunikasi selama beberapa hari.
Puluhan wartawan berkumpul di markas besar Sindikat Wartawan Mesir di pusat kota Kairo pekan lalu untuk memprotes penangkapan dan menunjukkan solidaritas kepada rekan mereka yang dipenjara, kata Yeganeh Rezaian kepada VOA. Dia adalah pelaksana tugas koordinator program Timur Tengah dan Afrika Utara di Komite Perlindungan Jurnalis, atau CPJ.
Nader Hashemi, seorang profesor politik Timur Tengah dan Islam di Georgetown University, mengatakan penindakan itu "mengingatkan kita pada krisis HAM yang parah di Mesir saat ini."
"Penangkapan semacam ini bukan hal baru di Mesir," kata Hashemi kepada VOA melalui email.
Omar, seorang kartunis untuk outlet berita independen Al-Manassa, ditangkap di rumahnya di Giza pada 22 Juli lalu, kata sebuah kelompok media.
Seorang pengacara HAM yang dikutip oleh media Omar mengatakan bahwa ketika ia pergi ke kantor polisi untuk menanyakan apakah kartunis itu ada di sana, para petugas menyangkal bahwa ia berada dalam tahanan mereka.
Terry Anderson, direktur Cartoonist's Rights, mengatakan dalam sebuah pernyataan pada tanggal 23 Juli bahwa rekan-rekan Omar bekerja sama dengan Sindikat Wartawan Mesir untuk "menjamin keselamatannya, mewakilinya secara hukum, serta mencegah otoritas untuk menindas wartawan dan bertindak di luar kerangka hukum."
Mamdouh, seorang reporter di Arab Post, ditangkap di Mokattam, Kairo, beberapa hari sebelumnya pada tanggal 16 Juli. Dalam kasusnya dan kasus Omar, otoritas membawa jurnalis tersebut ke sebuah lokasi yang dirahasiakan, dan keberadaan mereka tidak diketahui selama lima hari, demikian dilaporkan kantor berita Reuters.
Mamdouh kemudian diperintahkan untuk ditahan dalam penahanan praperadilan, dengan tuduhan bergabung dan mensponsori organisasi teroris sekaligus menyebarkan berita palsu.
Layanan Informasi Negara Mesir tidak menanggapi email VOA yang meminta komentar.
Kairo telah lama menggunakan tuduhan menjadi anggota atau mendukung organisasi teroris sebagai dalih untuk memenjarakan jurnalis, kata para pengamat media. Seringkali mereka yang ditahan mengalami perpanjangan masa penahanan pra-persidangan.
Salah satunya adalah Yasser Abu Al-Ela, seorang jurnalis lepas yang ditangkap di Mesir awal tahun ini. Rezaian mengatakan bahwa Abu Al-Ela telah dua kali mengalami perpanjangan masa penahanan.
Abu Al-Ela mengatakan kepada pihak berwenang bahwa dia mengalami "penyiksaan fisik dan psikologis" dan ditahan di sel isolasi. Istrinya, Naglaa Fathi, juga ditahan dan didakwa setelah mengajukan pengaduan kepada pihak berwenang, tambah Rezaian.
Mesir memiliki catatan buruk dalam hal memenjarakan wartawan. Setidaknya 13 jurnalis dipenjara pada akhir 2023, menurut CPJ. Hampir semua dari mereka ditahan atas tuduhan anti negara.
Rezaian mengatakan ketika jumlah jurnalis yang dipenjara di Mesir meningkat, "sekutu Kairo, Amerika Serikat dan negara-negara Uni Eropa, yang juga anggota Koalisi Kebebasan Media, tidak mengutuk penangkapan itu atau menyerukan pembebasan mereka."
"Sikap diam atas tindakan keras Sissi terhadap jurnalis Mesir ini memberinya keberanian untuk memperluas penindasannya," kata Rezaian.
Mesir berada di antara negara-negara terburuk dalam hal kebebasan media, berada di peringkat 170 dari 180 dalam Indeks Kebebasan Pers Dunia. [th/ab]
Beberapa informasi dalam laporan ini berasal dari Reuters.
Forum