Rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Selasa pekan lalu di Jakarta, mengesahkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) menjadi RUU inisiatif DPR. Namun masih ada dua langkah krusial yang dibutuhkan agar RUU tersebut segera dibahas hingga disahkan.
Koordinator Nasional JALA PRT Lita Anggraini dalam jumpa pers hari Senin (27/3) mengatakan ketua dan pimpinan DPR harus segera mengirim surat dan draft RUU PPRT kepada Presiden Joko Widodo. Setelah surat itu diterima, presiden bisa menyurati pimpinan DPR tentang daftar isian masalah dan menteri terkait yang ditunjuk untuk membahas RUU itu bersama DPR.
"Jadi ini dua langkah krusial yang bisa memungkinkan terjadinya pembahasan terutama antara pemerintah dan DPR. Tanpa ada surat dulu dari DPR ke presiden dan surat presiden, maka pembahasan yang dinantikan secara tingkat satu tentunya akan bisa menjadi molor," kata Lita.
Lita berharap dukungan lima ratusan organisasi non-pemerintah dan tokoh masyarakat akan membuat kedua langkah krusial itu bisa segera ditempuh. Dia meyakini akan terwujud pemahaman dan komitmen bersama antara pemerintah dan DPR agar RUU PPRT bisa disusun secara implementatif karena RUU ini merupakan aspirasi bersama antara pemerintah, DPR, dan masyarakat sipil.
Menurutnya sejumlah isu krusial seperti pemidanaan terhadap pemberi kerja, siapa yang dimaksud pemberi kerja merupakan masalah penting yang perlu dibahas bersama. Draft RUU PPRT yang ada sekarang sudah mencakup 70 persen dari isi Konvensi ILO 1989.
RUU PPRT Beri Pengakuan Resmi atas Profesi Pekerja Rumah Tangga
Lita mengatakan RUU PPRT ini merupakan pengakuan terhadap profesi pekerja rumah tangga yang mayoritas perempuan, menghapus diskriminasi terhadap pekerja rumah tangga, dan memberi perlindungan kepada pemberi kerja.
RUU ini juga memuat tentang definisi pekerja rumah tangga, yakni mereka yang bekerja untuk mencari upah untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga di tempat pemberi kerja; juga hak dan kewajiban antara pekerja rumah tangga dengan pemberi kerja. RUU ini juga mengawasi dari hulu hingga ke hilir, serta penyelesaian pidana untuk penyalur pekerja rumah tangga. Dalam draft RUU ini juga mengatur batas usia untuk menjadi pekerja rumah tangga.
Lita, yang sudah puluhan tahun menggeluti isu ini, berharap nantinya pembahasan antara pemerintah dan DPR mengenai RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga ini tidak berlangsung lama.
Koalisi Sipil Untuk UU PPRT Optimis
Dalam jumpa pers tersebut, Koordinator Koalisi Sipil untuk Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga Eva Kusuma Sundari mengatakan dari pengalaman dan preseden dua undang-undang sebelumnya, masih sangat mungkin RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga bisa dibahas hingga disahkan sebelum masa sidang ditutup pada 13 April mendatang.
Dengan syarat dua langkah krusial di atas sudah dilakukan, yaitu pimpinan DPR mengirim surat dan draft RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga. Kemudian Presiden Joko Widodo menyurati pimpinan DPR berisi daftar isian masalah (DIM) dan menteri terkait yang ditunjuk untuk membahas RUU itu bersama DPR.
"DPR seharusnya sudah mengirimkan surat ke presiden. Apalagi dapat informasi presiden sudah menunggu surat itu untuk masuk. Problemnya adalah bagaimana agar (surat) yang dari DPR itu bisa segera sampai ke istana," ujar Eva.
Menurut Eva, harus ada terobosan-terobosan tentang bagaimana pengaturan administrasinya. Kalau saat ini Ketua DPR Puan Maharani sedang pergi Jepang, dia memohon agar ada yang ditunjuk untuk menandatangani surat ditujukan kepada Presiden Joko Widodo.
Kemudian jika tidak ada jadwal untuk Badan Musyawarah, maka pimpinan yang memiliko portofolio berkaitan bisa menggelar rapat pengganti Badan Musyawarah jika sudah menerima surat dari presiden. Kalau surat presiden sudah diterima, harus diserahkan kepada Badan Legislasi.
Anggota Dewan Pertimbangan Presiden Setuju dengan Perlunya RUU PPRT
Menurut Anggota Dewan Pertimbangan Presiden Sidarto Danusubroto, RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga sangat dibutuhkan karena beberapa alasan. Undang-undang ini untuk melindungi hak-hak sekitar lima juta pekerja rumah tangga di Indonesia.
Dia menambahkan pekerja rumah tangga juga berhak memperoleh hak-hak normatif sebagaimana profesi lainnya; terlebih karena mereka dituntut memiliki beragam keterampilan, mulai dari memasak, mencuci, bersih-bersih, menyuapi anak majikan dan sebagainya.
"Wilayah kerja bersifat domestik dan privat sehingga tidak ada kontrol dan pengawasan pemerintah. Padahal rawan dan rentan terhadap diskriminasi, eksploitasi, dan kekerasan," tutur Sidarto.
Pekerja rumah tangga juga harus memperoleh hak-hak berupa upah standar, jam kerja, tunjangan hari raya, jaminan tenaga kerja, kompensasi pemberhentian, dan hak untuk cuti.
RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga merupakan upaya untuk melindungi serta memenuhi hak konstitusional dan HAM pekerja rumah tangga yang mayoritas perempuan. Hampir dua dekade sejak diusulkan, RUU tersebut baru akan dibahas.[fw/em]
Forum