JAKARTA —
Merayakan ulang tahunnya yang ke-19 tahun ini, Kamis (29/8), Aliansi Jurnalis Independen menyatakan Tentara Nasional Indonesia (TNI) merupakan musuh kebebasan pers 2013 karena masih tingginya kasus kekerasan oleh militer terhadap wartawan.
Ketua tim advokasi AJI, Iman D. Nugroho mengatakan, lembaga itu mencatat ada 26 kasus kekerasan yang menimpa jurnalis selama Januari hingga Agustus 2013, dengan pelakunya adalah orang-orang tidak dikenal yang menyamarkan identitasnya.
“Yang paling dekat, kita melihat kasus kekerasan yang terjadi pada peliputan kasus penyerangan lembaga pemasyarakatan di cebongan sleman Yogyakarta. Ketika itu, kawan-kawan yang melakukan peliputan persidangan, justru mendapatkan teror yang luar biasa,” ujarnya.
Tindakan intimidatif berupa pesan singkat, percakapan telpon, dan berlangsung secara sistematis serta terkoneksi satu sama lain, dan diduga keras ada peran anggota TNI di dalamnya.
“Yang lain adalah kasus kekerasan di Pekanbaru, Riau. Sudah hampir setahun kasus itu tapi penyelesaian hukum tidak ada. Atas berbagai kenyataan itulah maka AJI menetapkan bahwa musuh kebebasan pers 2013 adalah TNI,” ujarnya.
Pada hari ulang tahunnya tersebut AJI juga memberikan penghargaan Tasrif Award, Udin Award, dan SK Trimurti Award. Penghargaan Tasrif Award diberikan kepada Luviana, mantan karyawan Metro TV yang tidak lelah memperjuangkan hak-haknya sebagai karyawan setelah dipecat secara sepihak.
Penghargaan Udin Award diberikan kepada Didik Herwanto (Riau Pos), F.B. Anggoro (Antara), dan Fachri Robyanto (Riau TV) sebagai korban kekerasan TNI Angkatan Udara, saat tengah melakukan peliputan Oktober 2012 lalu di Riau.
Sementara penghargaan SK Trimurti diberikan kepada Yuliati Umrah, pendiri Yayasan ALIT yang bergerak dalam memperjuangkan anak-anak, dengan moto "Equality for All Children".
AJI juga menyoroti masalah kesejahteraan yang masih minim untuk para wartawan di daerah, baik itu pekerja tetap maupun pekerja kontrak.
Ketua Umum AJI Indonesia Eko Maryadi mengatakan, berangkat dari keprihatinan kondisi itu AJI Indonesia menggandeng PT Jamsostek (Persero) guna memberikan perlindungan kepada kontributor, koresponden, stringer dan pekerja lepas (freelance) media di daerah.
“Kebetulan kita sudah berkoordinasi (dengan PT Jamsostek) dan jumlah yang dibayarkan juga sangat memadai. Mudah-mudahan bisa membantu kawan-kawan di daerah,” ujarnya.
“Tetapi yang penting adalah, ke depan kita ingin Jamsostek ini yang menanggung adalah perusahaan media, bukan komunitas wartawan. Perusahaan media bertanggung jawab untuk membayar dan meng-cover asuransi wartawan-wartawannya. Baik itu karyawan tetap, kontributor, stringer dan freelance. Itu adalah tekanan yang ingin kita sampaikan.”
Mantan Presiden B.J. Habibie yang juga hadir dalam acara itu mengajak masyarakat juga memikirkan masa depan kesejahteraan wartawan.
“Ada baiknya kita memikirkan isu-isu seputar kesejahteraan wartawan. Bagaimana masa depan kesejahteraan wartawan. Jangan sampai wartawan yang menyuarakan kebenaran tidak mendapatkan hak-haknya,” ujarnya.
Habibie juga mengkritik para pemilik media yang hanya memikirkan diri sendiri bahkan terjun ke dunia politik.
“Saya tidak peduli siapa yang memiliki sebuah perusahaan media. Tapi kalau pemilik media sudah mulai aktif di partai bahkan mencalonkan diri sebagai presiden. Saya keberatan,” tambahnya, tanpa mengelaborasi lebih jauh.
Ketua tim advokasi AJI, Iman D. Nugroho mengatakan, lembaga itu mencatat ada 26 kasus kekerasan yang menimpa jurnalis selama Januari hingga Agustus 2013, dengan pelakunya adalah orang-orang tidak dikenal yang menyamarkan identitasnya.
“Yang paling dekat, kita melihat kasus kekerasan yang terjadi pada peliputan kasus penyerangan lembaga pemasyarakatan di cebongan sleman Yogyakarta. Ketika itu, kawan-kawan yang melakukan peliputan persidangan, justru mendapatkan teror yang luar biasa,” ujarnya.
Tindakan intimidatif berupa pesan singkat, percakapan telpon, dan berlangsung secara sistematis serta terkoneksi satu sama lain, dan diduga keras ada peran anggota TNI di dalamnya.
“Yang lain adalah kasus kekerasan di Pekanbaru, Riau. Sudah hampir setahun kasus itu tapi penyelesaian hukum tidak ada. Atas berbagai kenyataan itulah maka AJI menetapkan bahwa musuh kebebasan pers 2013 adalah TNI,” ujarnya.
Pada hari ulang tahunnya tersebut AJI juga memberikan penghargaan Tasrif Award, Udin Award, dan SK Trimurti Award. Penghargaan Tasrif Award diberikan kepada Luviana, mantan karyawan Metro TV yang tidak lelah memperjuangkan hak-haknya sebagai karyawan setelah dipecat secara sepihak.
Penghargaan Udin Award diberikan kepada Didik Herwanto (Riau Pos), F.B. Anggoro (Antara), dan Fachri Robyanto (Riau TV) sebagai korban kekerasan TNI Angkatan Udara, saat tengah melakukan peliputan Oktober 2012 lalu di Riau.
Sementara penghargaan SK Trimurti diberikan kepada Yuliati Umrah, pendiri Yayasan ALIT yang bergerak dalam memperjuangkan anak-anak, dengan moto "Equality for All Children".
AJI juga menyoroti masalah kesejahteraan yang masih minim untuk para wartawan di daerah, baik itu pekerja tetap maupun pekerja kontrak.
Ketua Umum AJI Indonesia Eko Maryadi mengatakan, berangkat dari keprihatinan kondisi itu AJI Indonesia menggandeng PT Jamsostek (Persero) guna memberikan perlindungan kepada kontributor, koresponden, stringer dan pekerja lepas (freelance) media di daerah.
“Kebetulan kita sudah berkoordinasi (dengan PT Jamsostek) dan jumlah yang dibayarkan juga sangat memadai. Mudah-mudahan bisa membantu kawan-kawan di daerah,” ujarnya.
“Tetapi yang penting adalah, ke depan kita ingin Jamsostek ini yang menanggung adalah perusahaan media, bukan komunitas wartawan. Perusahaan media bertanggung jawab untuk membayar dan meng-cover asuransi wartawan-wartawannya. Baik itu karyawan tetap, kontributor, stringer dan freelance. Itu adalah tekanan yang ingin kita sampaikan.”
Mantan Presiden B.J. Habibie yang juga hadir dalam acara itu mengajak masyarakat juga memikirkan masa depan kesejahteraan wartawan.
“Ada baiknya kita memikirkan isu-isu seputar kesejahteraan wartawan. Bagaimana masa depan kesejahteraan wartawan. Jangan sampai wartawan yang menyuarakan kebenaran tidak mendapatkan hak-haknya,” ujarnya.
Habibie juga mengkritik para pemilik media yang hanya memikirkan diri sendiri bahkan terjun ke dunia politik.
“Saya tidak peduli siapa yang memiliki sebuah perusahaan media. Tapi kalau pemilik media sudah mulai aktif di partai bahkan mencalonkan diri sebagai presiden. Saya keberatan,” tambahnya, tanpa mengelaborasi lebih jauh.