Rancangan Undang-Undang Pertanahan yang mungkin akan segera disahkan DPR, ternyata menyimpan ancaman bagi sektor kehutanan. Tidak mengherankan, jika Forum Pimpinan Lembaga Pendidikan Tinggi Kehutanan Indonesia (FOReTIKA) mendesak pengesahan itu ditunda. Ketua forum ini, Rinekso Soekmadi bersama sejumlah rekan sesama akademisi kehutanan, menyampaikan enam butir penyataan sikap di Yogyakarta, Jumat (12/7).
Enam butir pernyataan itu bertumpu pada perhatian utama mereka yaitu semangat melestarikan hutan. Rinekso mengatakan sebuah undang-undang baru akan merombak banyak aturan. Saat ini, pengelolaan kawasan hutan di Indonesia diserahkan kepada Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup. Karenanya, kemungkinan pengalihfungsian kawasan hutan menjadi peruntukan lain, memiliki prosedur berliku, untuk menghambat kerusakan hutan itu sendiri.
“Nah, kita khawatir kalau kewenangan itu diserahkan kepada pihak lain yang tidak terlalu besar concern-nya terhadap keberlangsungan pengelolaan hutan, akan semakin mudah untuk mengkonversi dari hutan menjadi bukan hutan,” kata Rinekso.
Kekhawatiran lain, ungkap Rinekso, adalah kehadiran RUU ini jika sudah disahkan nanti, akan menjadi jalan untuk menghapus kesalahan pemanfaatan hutan. Saat ini, pemerintah melalui KLHK tengah melakukan tindakan hukum terhadap pelanggaran peruntukan kawasan hutan, misalnya yang berubah menjadi perkebunan sawit.
“Itu prosesnya masih terus berlanjut, dan itu luasnya luar biasa, jutaan hektar. Kalau ini dipaksakan untuk segera dilegalkan, kita khawatir untuk yang tadinya masih berproses kasus hukumnya, kemudian diputihkan segera. Ini menjadi kehawatiran kami,” tambah Rinekso.
Guru Besar Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, Didik Suhardjito menekankan perlunya sebuah rancangan undang-undang bersikap adil dalam tiga isu, yaitu ekonomi, sosial dan ekologi. Melihat rancangannya, isu ekonomi dinilai terlalu mengemuka, dan cenderung tidak adil secara sosial, terutama bagi masyarakat desa dan adat. Selain itu, ancaman besar kerusakan lingkungan juga menjadi perhatian, karena isu ini tidak menjadi pertimbangan utama.
Para akademisi kehutanan mengaku tidak dilibatkan dalam pembahasan RUU tersebut. Karena itu, ketika muncul pemberitaan mengenai rencana pengesahan RUU Pertanahan, mereka terpanggil untuk bersuara. Menurut Didik, masalah sosial muncul karena ada banyak kepentingan dari kelompok ekonomi. Dampaknya, bukan tidak mungkin masyarakat akan semakin terpinggirkan.
“Kalau RUU ini lebih sarat pada aspek ekonomi dan meninggalkan aspek keadilan atau aspek sosialnya, apalagi ekologi, sudah pasti akan mengancam keberlanjutan ekosistem. Kita tahu, hutan ini ekosistem penunjang kehidupan, dan sekarang dalam kondisi kritis. Kalau ditambah lagi dengan pengaturan melalui RUU Pertanahan ini, dan tidak menyasar pada problem-problem itu, artinya akan semakin parah,” kata Didik.
Pemerintah melalui Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menetapkan September 2019 sebagai batas waktu pengesahan RUU Pertanahan. Hingga saat ini, DPR telah menyelesaikan sejumlah pasal utama dalam RUU tersebut. Dalam keterangan kepada media, Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU Pertanahan, Herman Khaeron memastikan, enam dari 15 bab dalam RUU itu adalah bagian paling substansial.
Ada delapan poin utama dalam RUU Pertahanan. Poin-poin itu adalah pengaturan atas hak atas tanah, pendaftaran tanah menuju single land administration system, dan modernisasi pengelolaan, penyediaan tanah untuk pembangunan, percepatan penyelesaian sengketa, kebijakan fiskal pertanahan, kewenangan pengelolaan kawasan oleh kementerian/lembaga, dan penghapusan hak-hak atas tanah yang bersifat kolonial.
Dalam keterangan resminya di Jakarta, Menteri ATR/BPN, Sofyan A Djalil menegaskan, RUU Pertanahan ini memberikan kepastian ekonomi berkeadilan dan kepastian hukum bagi masyarakat dan pelaku usaha.
Dekan Fakultas Kehutanan UGM, Budiadi yang turut menyatakan sikap menegaskan, suara mereka merupakan wujud kesadaran sebagai akdemisi kehutanan. Semua menyadari, kinerja Indonesia di bidang kehutaan belum baik. Salah satunya adalah luasnya lahan tidak produktif dan lahan kritis yang mencapai 14 juta hektar.
RUU Pertanahan ini, lanjut Budiadi, sebenarnya turut mereka apresiasi kehadirannya. Bagaimanapun, sistem agraria di Indonesia harus dipastikan penataannya. Dia memberikan contoh, di banyak wilayah di luar Jawa, batas antara kawasan hutan dan non hutan tidak jelas. RUU ini mungkin bisa menjadi jawaban dari masalah tersebut.
“Kalau batasnya tidak jelas, maka yang terjadi sampai saat ini banyak kasus tumpang tindih izin. Harusnya jadi kawasan konservasi, tiba-tiba ada izin untuk hak guna usaha perkebunan. Tiba-tiba ada izin untuk pertambangan di tempat yang sama. Sehingga kami menyadari, penataan itu sangat penting,” kata Budiadi.
Meski begitu, lanjut Budiadi, RUU tersebut juga harus mendengar masukan dari banyak pihak, termasuk akademisi kehutanan. Masukan-masukan dari sektor ini sangat dibutuhkan agar DPR tidak melahirkan aturan hukum strategis di masa transisi seperti RUU Pertanahan ini. Budiadi mengingatkan, keputusan strategis seperti undang-undang membawa dampak jangka panjang bagi Indonesia.
“Sikap kami tidak menolak. Tetapi, karena kami sepakat dengan proses untuk penataan itu, sehingga kami mengusulkan penundaan. Meskipun demikian DPR dan pemerintah harus membuat target kira-kira dalam Prolegnas ke depan itu harus disahkan kapan,” tambah Budiadi.
Fakultas Kehutanan UGM, yang juga almamater Jokowi, meminta presiden turun tangan dalam persoalan tersebut, dengan membuka dialog terbuka di antara berbagai pihak yang berkepentingan dengan RUU Pertanahan. [ns/lt]