Pelantikan lima penjabat dilakukan, karena masa jabatan gubernur dan wakil gubernur di Banten, Gorontalo, Sulawesi Barat, Papua Barat dan Bangka Belitung telah habis. Sesuai jadwal, pemilihan kepala daerah baru akan dilaksanakan pada November 2024, dan kepala daerah definitif kemungkinan baru ditetapkan awal 2025. Dengan demikian, penjabat gubernur ini akan menjalankan tugas hampir selama tiga tahun.
Direktur Pusat Studi Konstitusi, Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat, Feri Amsari, mengingatkan ada aturan hukum terkait proses pengisian kepala daerah. Undang-Undang 10/2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota mengatur bagaimana pengisian jabatan dilakukan, jika sisa masa jabatannya masih cukup panjang.
“Kalau sisa masa jabatannya lebih dari 1,5 tahun atau 18 bulan ke atas, maka dilakukan proses pemilihan di DPRD. Tetapi jika bersisa 1,5 tahun atau 18 bulan maka ditunjuk presiden melalui menteri dalam negeri. Jadi dua konsep demokrasinya berdasarkan masa jabatan yang ada, waktu yang tersisanya berapa,” papar Feri ketika menjadi pembicara dalam diskusi yang diselenggarakan Perludem, Minggu (15/5) siang.
Karena sisa masa jabatan kepala daerah definitif yang habis masa jabatan pada 2022 sangat panjang, Feri menilai penggunaan ketentuan dalam UU 10/2016 lebih tepat.
“Bisa konsepnya misalnya melibatkan kepala darah yang lama sebagai opsi, atau kemudian dua partai pemenang atau koalisi partai pemenang Pilkada pada Pemilu sebelumnya untuk mencalonkan dan dipilih oleh DPRD,” tambahnya.
Feri menyadari bahwa proses penunjukan penjabat kepala daerah saat ini konteksnya sedikit berbeda. UU 10/2016 menyebut kepala daerah berhenti karena meninggal dunia, permintaan sendiri, atau diberhentikan karena tidak terpenuhi syarat-syarat. Sedangkan yang terjadi saat ini adalah habis atau berakhirnya masa jabatan. Namun, kata Feri, gagasan demokratisasi proses pemilihan pengisi sisa masa jabatan itu sangat penting.
Pilihan untuk memilih penjabat melalui Kemendagri, menurut Feri memiliki semangat membangun sentralisme.
“Karena Mendagri dan presiden mendukung konsep sentralistik gaya baru, sebagaimana dilakuan dalam UU Cipta Kerja. Menarik berbagai kewenangan ke tingkat pusat. Mengabaikan nilai-nilai demokratis yang menurut saya sangat penting,” tandasnya.
Diklaim Telah Demokratis
Setelah lima gubernur ini, Kemendagri akan terus memilih dan menetapkan penjabat kepala daerah, baik gubernur, bupati maupun wali kota. Total untuk tahun ini terdapat 101 posisi yang ditinggalkan pejabat definitif, sehingga harus diisi penjabat. Sementara secara keseluruhan hingga 2023 nanti, ada 271 daerah yang membutuhkan penjabat kepala daerah.
Seusai melantik lima penjabat gubernur pada Kamis (12/5), Menteri Dalam Negeri M. Tito Karnavian memastikan, bahwa prinsip demokratis telah diterapkan dalam pemilihan penjabat kepala daerah. Prinsip itu dijalankan melalui upaya menghimpun aspirasi dari berbagai pihak. Adapun prinsip transparansi dijalankan dengan mekanisme sidang Tim Penilai Akhir (TPA) yang dipimpin oleh Presiden dan melibatkan para menteri dan kepala lembaga. Dalam sidang tersebut, Presiden mendengarkan pendapat dari para menteri dan pimpinan lembaga terkait masing-masing calon penjabat.
“Tiap satu-satu dibahas orang ini bagaimana, kinerjanya bagaimana, dan kemudian apakah ada catatan pelanggaran hukum atau potensi pelanggaran hukum, semua dibahas di sidang TPA,” kata Mendagri.
Kelima penjabat yang dilantik adalah Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri Akmal Malik untuk Sulawesi Barat. Deputi di Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP), Paulus Waterpauw untuk Papua Barat. Dirjen Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM, Ridwan Djamaluddin untuk Bangka Belitung. Staf Ahli Kemenpora Hamka Hendra Noer untuk Gorontalo. Serta Sekda Banten, Al Muktabar untuk Banten.
Dinilai Tidak Transparan
Peneliti Perludem, Fadli Ramadhanil mengkritisi proses pengisian penjabat yang tidak transparan. Di satu sisi, para penjabat akan memegang masa jabatan sangat lama, hampir setara kepala daerag definitif. Di sisi lain, konstitusi memerintahkan gubernur, bupati dan wali kota dipilih secara demokratis.
“Dan sekarang proses pengisian penjabat yang dilakukan Kemendagri belum partisipatif, belum terbuka dan belum demokratis. Kita tidak tahu. Tiba-tiba muncul saja lima nama yang kemudian menjadi penjabat gubernur di lima provinsi tadi,” kata Fadli.
Fadli mengingatkan, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan MK 67/2022, memerintahkan perlu adanya peraturan pelaksanaan proses pengisian penjabat kepala daerah. Pengisian yang dilakukan harus demokratis, partisipatif, dan memastikan proses penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di daerah tetap berjalan baik.
Ada dua Isu utama terkait pengisian penjabat 2022 kepala daerah. Menurut Fadli, kedua isu adalah soal siapa yang akan mengisi posisi penjabat kepala daerah, dan juga terkait masa jabatannya.
“Karena ini mengisi kursi kepala daerah, gubernur, bupati dan walikota yang diamanahkan oleh konstitusi untuk diikuti secara demokratis, maka menjadi penting kita untuk berbicara soal bagaimana proses pemilihan penjabat kepala daerah ini,” tambahnya.
Perlu Libatkan Publik
Peneliti dari Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif, Violla Reininda, meyakini pemerintah seharusnya membuat mekanisme untuk melibatkan publik dalam pengisian dan penunjukan penjabat kepala daerah.
“Ini menjadi penting karena satu hal yang krusial untuk memastikan bahwa penjabat itu ke depan adalah orang yang memahami konteks lokal. Konteks pemerintahan lokal. Dan juga bagaimana melibatkan DPRD sebagai lembaga representasi daerah di dalam pemilihannya,” kata Violla.
Peran DPRD layak dipertimbangkan, karena merupakan perpanjangan tangan rakyat dalam pemerintahan.
Kemendagri harus memastikan mekanisme penilaian calon penjabat. Dalam hal ini, kriteria yang harus dipenuhi agar seseorang pantas menempati posisi sebagai penjabat kepala daerah. Selain itu, perlu ditetapkan pula aturan main evaluasi kinerja penjabat itu sendiri.
Violla menyebut aturan main ini sangat penting karena menyangkut pengisian penjabat di 271 wilayah.
“Kita tidak mau menyaksikan 271 daerah ini penjabatnya dipilih melaui cara-cara yang tidak mempertimbangkan demokrasi kontitusional atau tidak melibatkan publik, khususnya masyarakat lokal yang akan terikat dengan pengelolaan pemerintahan yang akan dilakukan penjabat itu ke depan,” tegas Violla.
Apalagi, MK telah menetapkan bahwa penjabat memiliki kewenangan yang sama dengan kepala daerah definitif. [ns/ah]