Sebanyak 200 dekan, profesor, dan akademisi dari 67universitas di Indonesia menolak omnibus law Undang-Undang (UU) Cipta Kerja oleh DPR bersama pemerintah pada 5 Oktober lalu.
Pengesahan ini dinilai sangat cepat dan sarat kepentingan ekonomi dan politik, dan mengabaikan peran serta publik yang diatur dalam Pasal 96 UU Nomor 12 Tahun 2011 jo UU No. 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Guru besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Prof. Susi Dwi Harijanti, membacakan pernyataan akademik dan penolakan terhadap pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja ini, dalam konferensi pers daring, Rabu (7/10).
Menurut Susi, ada banyak masalah mendasar dalam pasal-pasal di UU Cipta Kerja selain pengabaian prosedur pembentukan undang-undang – yang sentralistik Orde Baru, anti lingkungan hidup, liberalisasi pertanian, serta pengabaian hak asasi manusia. Pengesahan undang-undang ini dinilai terburu-buru dan mengabaikan suara dan aspirasi rakyat yang menolak.
“Apakah memang tidak ingin mendengar suara kami, suara rakyat sebagai pemegang kedaulatan di negeri ini. Untuk siapa sebetulnya Undang-Undang Cipta Kerja ini, jika rakyat tidak didengarkan," ujar Prof. Susi.
Padahal, imbuhnya, undang-undang adalah cara rakyat untuk menentukan bagaimana cara negara diatur dan diselenggarakan.
UU Cipta Kerja dianggap melanggar Pasal 18 ayat 5 UUD 1945 yang menyatakan pemerintah daerah dijalankan dengan otonomi seluas-luasnya kecuali terhadap kewenangan yang ditentukan sebagai kewenangan pusat. Ternyata UU Cipta Kerja mengerdilkan peran pemerintah daerah karena menarik semuanya ke pemerintah pusat. Bahkan pendapatan asli daerah bisa berkurang karena beleid inisiatif Presiden Joko Widodo tersebut.
Selain itu, beleid ini dituding mengambil alih hak-hak buruh dengan menyerahkan melalui peraturan perusahaan. Para akademisi mempertanyakan bagaimana hubungan antara buruh dan perusahaan bisa berjalan adil kalau aturan kerja tidak dibuat bersama antara pengusaha dan pekerja.
Dosen hukum tata negara, Universitas Gadjah Mada, Dr. Zainal Arifin Mochtar, menyebut konteks UU Cipta Kerja ini dibuat tanpa memperhatikan partisipasi publik dan aspek transparansi sebagai bagian yang tidak terpisahkan yang tercantum dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
"Jangankan publik, sebagian lembaga negara saja tidak menerima. Sebagian kementerian sendiri, antar kementerian sendiri tidak mendapatkan berkasnya lalu tiba-tiba sudah berada di DPR begitu saja. Kita tidak bisa mengakses sama sekali," kata Zainal.
Akademisi mendorong Presiden Joko Widodo mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk membatalkan UU Cipta Kerja yang dianggap mengabaikan nilai-nilai konstitusional yang diatur dalam UUD 1945.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Prof. Maria Sumardjono, mengajak seluruh akademisi bersama-sama menolak UU Cipta Kerja, dan menyiapkan langkah untuk pengujian peraturan perundang-undangan atau judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK).
“Kalau itu ada potensi ke MK, ya kita harus maju ke MK, baik yang dari segi formil maupun dari segi materiilnya," kata Prof. Maria.
Yang kedua, lanjut Prof. Maria, mempersiapkan sejumlah materi yang akan disusun menjadi Peraturan Pemerintah (PP) atau sebagai Perpres (Peraturan Presiden).
"Itu kita bisa juga (lakukan). Istilah saya dalam tanda petik, mencegatnya di sana," ujarnya.
Mengatur Pesangon
Sementara, Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziyah, Rabu (7/10), mengatakan undang-undang ini tetap mengatur ketentuan pesangon yang diterima pekerja ketika kehilangan pekerjaan.
Para pekerja, lanjutnya, juga akan mendapatkan jaminan kehilangan pekerjaan. Ida mengatakan pekerja yang kehilangan pekerjaan akan mendapat akses pasar kerja yang diatur pemerintah. Dengan demikian, mereka akan mendapat kemudahan dalam memperoleh pekerjaan baru.
Ida juga menekankan banyaknya distorsi informasi yang berkembang di masyarakat yang sesungguhnya jauh dari kenyataannya.
Penolakan atas pengesahan Undang-undang Cipta Kerja bukan hanya datang dari akademisi tetapi juga para buruh dari berbagai serikat pekerja di berbagai daerah.
Lebih dari 10 kota menggelar aksi demonstrasi menentang pengesahan undang-undang ini di berbagai kota, antara lain di Bandung dan Subang, Mojokerto, Makassar, dan ibu kota Jakarta. [pr/fw/em/ft]