VOA - Sejak tahun 2020, Caine Aurilia tidak pernah membeli baju baru. Pandemi COVID -19 membuat perempuan yang saat itu berusia 23 tahun lebih banyak di rumah dan menyadari bahwa koleksi pakaiannya luar biasa banyak, jauh dari jumlah yang dibutuhkannya. Terlintas di benak Caine, ia mungkin bukan satu-satunya gen Z yang memiliki masalah itu.
Fakta ini membuatnya prihatin, apalagi setelah riset kecil-kecilan yang dilakukannya menunjukkan industri fesyen merupakan penyumbang sampah terbesar kedua di dunia setelah industri minyak, karena perkembangannya yang begitu cepat.
“Dari situ aku mulai tersadar bahwa industri yang terlihat gemerlap mempunyai sisi yang sangat kelam,” tutur Caine.
Caine memutuskan mengubur dalam-dalam kebiasaan lamanya itu. Ia lebih memilih untuk mendaurulang pakaian-pakaian lamanya. Memanfaatkan pakaian bekas, menurut Caine, sama artinya dengan memperpanjang usianya sehingga ikut menyelamatkan bumi dari limbahnya.
Tak tanggung-tanggung, Caine pun ikut bergabung dalam organisasi Setali Indonesia, yang mengusung gerakan fesyen berkelanjutan dan memulainya sebagai relawan. Di usianya yang kini 27 tahun, Caine kini bahkan menjabat sebagai kepala edukasi, dan sering terlibat dalam upaya penanganan limbah fesyen yang didukung organisasinya.
Menurut Caine, gerakan fesyen berkelanjutan yang didukung organisasinya, “terfokus pada reuse, repair dan repurpose.” Caine juga mengatakan, lingkungan bukan hanya satu-satunya isu yang menjadi pertimbangannya ketika bicara mengenai belanja pakaian.
“Selain lingkungan, industri fesyen memiliki efek terhadap isu-isu sosial, seperti pemberlakuan upah yang tidak layak, eksploitasi dan kurangnya perhatian terhadap kondisi para pekerja garmen,” katanya.
Ankayama Lowing memutuskan untuk hanya membeli produk kecantikan organik dan vegan pada tahun 2019, sewaktu ia masih berusia 33 tahun. Keputusan ini terutama muncul dari keinginannya untuk melindungi kulit sensitifnya dan Planet Bumi.
Produk nabati dan organik, menurut influencer produk kecantikan ini, tidak hanya memberi manfaat positif pada kulitnya, tapi “juga pastinya memberi value pada lingkungan, karena bahan-bahan natural juga lebih mudah terurai.”
Caine dan Ankayama adalah dua dari dari sekian banyak anak muda yang mempraktikkan conscious consumerism. Mereka mengambi keputusan belanja secara lebih bijaksana, dan sering kali dengan tujuan mengurangi konsumsi dan memprioritaskan keberlanjutan.
Mereka yang mempraktikan conscious consumerism biasanya mendukung perusahaan yang mengikuti standar etika yang tinggi, membeli barang hasil perdagangan yang adil, dan membeli produk berkelanjutan. Produk berkelanjutan, pada prinsipnya, adalah produk yang bersifat tahan lama dan dapat digunakan kembali atau terbuat dari bahan yang mudah terdekomposisi di alam.
Sederhananya, mereka membuat keputusan membeli tidak hanya berdasarkan apa yang tercetak pada label barang. Sebagai konsumen yang sadar, keputusan mereka dipengaruhi oleh apa dan bagaimana sebuah barang diproduksi, termasuk apakah operasi produsen barang itu membahayakan lingkungan dan sumber daya manusia.
Ankayama, contohnya, tidak keberatan membeli produk-produk kecantikan organik dan vegan yang harganya jauh lebih mahal, karena ia mengerti beban biaya yang ditanggung produsen lebih besar sementara dampak lingkungannya lebih kecil. Apalagi, permintaan akan produk-produk seperti masih rendah.
“Setahu aku, harga itu dipengaruhi oleh bahan. Karena bahannya organik, tumbuhan yang dibudidayakan harus bebas dari bahan-bahan kimia, seperti pestisida. Itu kan perlu cost. Apalagi mereka melakukan packaging dengan bahan yang mudah didaurulang, contohnya kaca. Kaca itu berat, dan tentunya membuat mahal proses transportasinya, “ kata perempuan yang pernah diajak kerjasama oleh dua produsen produk kecantikan ternama, BLT Cosmetics dan AquaSkin, dalam menggalang ide-ide inovatif untuk produk ramah lingkungan itu.
Produk-produk organik pada umumnya menggunakan wadah terbuat dari kaca, mengingat bahan itu bersifat permanen dan dapat didaur ulang tanpa batas. Botol kaca, contohnya, dapat digunakan kembali dan diisi ulang.
Upaya Ankayama dalam mempraktikkan conscious consumerism tidak hanya sampai di situ. Sebagai influencer dengan lebih dari 28.000 pengikut, ia memanfaatkan kekuatan media sosial untuk mengangkat isu lingkungan terkait produk-produk kecantikan, dan mendorong pembicaraan yang serius mengenai pentingnya lingkungan berkelanjutan. Ia menyadari bahwa gairah yang semakin besar di kalangan konsumen untuk mencoba berbagai produk kecantikan telah meningkatkan limbah lingkungan.
Lewat media sosial, desainer grafis ini, contohnya, mengajak para pengikutnya memanfaatkan botol-botol perawatan kulit sebagai alat peraga foto, tempat lipstik, atau wadah produk kecantikan. Ia juga memperkenalkan jurnal yang berisi tip-tip kecantikan yang ramah lingkungan.
Menurut Caine dari Setali Indonesia, conscious consumerism di kalangan generasi muda Indonesia kini menjadi tren baru, khususnya di wilayah perkotaan.
“Saat ini, generasi mudah sudah lebih banyak sadar akan dampak lingkungan, meskipun prosentasenya belum bisa dikatakan mayoritas. Namun perubahan perilaku ini perlu terus didorong dan diapresiasi sehingga tidak menjadi tren sesaat, melainkan menjadi sebuah kebudayaan baru,” kata Caine.
Didi Kaspi Kasim, pemimpin redaksi National Geographic Indonesia, setuju. “Kalau consciousness-nya kayaknya memang mulai ada. Namun society-nya (generasi muda, red) masih perlu didampingi sehingga mereka bisa benar-benar mengerti bagaimana menjadi conscious ke arah yang benar,” katanya. “
Didi mencermati, selain selektif dalam membeli produk, semakin banyak konsumen muda Indonesia yang menerapkan gaya hidup minimalis dan hanya membeli seperlunya saja. Menurutnya, minimalisme juga merupakan bagian dari praktik conscious consumerism. Mereka yang mempraktikannya, tidak membeli barang yang tidak diperlukan, dan tidak perduli apakah keputusannya itu membuatnya “ketinggalan” dibanding rekan-rekan sebayanya.
Sebagai konsumen yang bertanggung jawab, Didi sendiri membiasakan diri untuk meneliti produk yang dikonsumsinya dan produsennya. “Saya selalu berusaha untuk mendapatkan informasi yang baik tentang produk yang saya konsumsi, serta perusahaan yang memproduksinya,” kata Didi. “Saya ingin tahu apa dilakukan perusahaan-perusahaan ini terhadap lingkungan dan orang-orang di sekitar mereka sebelum mendukung mereka dengan membeli produk mereka.”
Menurut Caine, tren conscious consumerism di kalangan generasi Milenial dan generasi Z muncul karena mereka tumbuh dengan melihat fenomena perubahan iklim di mana-mana, seiring berkembangnya era digital yang memudahkan akses mereka ke informasi. Jadi, katanya, mereka lebih sadar lingkungan dan ingin mengambil tindakan nyata untuk mengendalikan perubahan iklim, ketimbang generasi-generasi sebelumnya, seperti Baby Boomer.
“Dan memang, fenomena yang terjadi pada generasi sebelumnya, tidak sama dengan generasi saat ini. Sehingga menjadi hal wajar jika cara generasi sebelumnya dalam menanggapi permasalahan atau isu lingkungan, agak berbeda dengan generasi saat ini,” kata Caine.
Meski demikian, menurut Didi, tren conscious consumerism sebetulnya baru muncul di wilayah perkotaan, khususnya kota-kota besar di mana kampanye lingkungan sering digelar. Di wilayah lain, apalagi yang terpencil, praktik seperti itu sangat tidak dikenal. Di sana, menurutnya, konsumen lebih memperhitungkan harga dan kemudahan mengakses.
Didi mencontohkan, pertumbuhan cepat mini market di berbagai pelosok Indonesia. Desakan modernisasi ini, katanya, membuat “anak-anak tidak lagi mengonsumsi makanan dari kebun, tapi mulai bergeser pada makanan-makanan yang instant. Itu kan artinya, society-nya tidak bisa menahan gerak modernisasinya dengan gerakan kepedulian lingkungan.”
Sudah menjadi pengetahuan umum, makanan instant atau ultraolahan, umumnya tidak ramah lingkungan karena menjadi penyumbang kerusakan lingkungan dan emisi gas rumah kaca.
Menurut Didi, di kota-kota besar, seperti Jakarta, tingkat kepedulian generasi muda terhadap kantong belanja plastik sangat terasa. Menghindari penggunaan tas belanja seperti itu bukanlah hal yang mengherankan. Ankayama membenarkan itu, “Kalau saya lihat orang tuh saat ini seperti sudah lebih leluasa atau wajar menolak menggunakan kantong plastik. Mereka bilang ‘oh nggak usah pakai kantong plastik, tapi langsung masuk ke tas saya saja.’ Itu lebih mudah diterima dan dianggap biasa saja. Kalau dulu, mungkin ada pertanyaan, ‘Oh nggak mau pakai kantong plastik?’.”
Didi mengatakan, fakta itu juga terbaca dalam proyek “Clean Up” yang digelar National Geographic Indonesia di bawah gerakan “Saya Pilih Indonesia”. Sebelum pandemi, di sebuah kawasan di Jakarta yang membentang sepanjang lima kilometer, pada satu rentang waktu, tim relawan yang terlibat dalam proyek itu menemukan 300 kilogram kantong plastik sekali pakai. Tapi, setelah pandemi, tepatnya awal tahun 2024, di area yang sama dan pada rentang waktu yang sama, tim relawan serupa hanya menemukan kurang dari 100 kilogram kantong plastik sekali pakai.
Lebih jauh Didi mengatakan, menggalang relawan dalam aksi-aksi lingkungan jauh lebih mudah dilakukan di kota-kota besar. “Bila kita buka kesempatan volunteer, dalam satu hari saja, kita bisa dapat 50 orang dengan sangat cepat dan mudah.”
Bagaimana tingkat kepedulian generasi Z dibanding generasi Milenial dalam aksi lingkungan? Didi mengatakan,”kalau berisiknya gen Z, kalau aksinya Milenial. Mengingat digital awareness-nya yang tinggi, gen Z itu sangat ingin tampil di publik, berbicara, protes dan lain lain, tapi kalau soal aksi nyata lingkungan, saya lebih banyak bertemu orang-orang Milenial.”
Terlepas dari persoalan itu, Didi sangat mengapresiasi antusiasme generasi muda Indonesia dalam mengatasi persoalan lingkungan. Ia percaya, partsipasi gen Z dan Milenial sangat diperlukan dalam mengatasi persoalan lingkungan saat ini. Ia mengatakan, ide-ide kreatif dan inovatif dari generasi muda akan bisa menjawab tantangan lingkungan yang selalu saja berubah.
National Geographic Indonesia, sejauh ini telah berusaha menggalang partisipan muda dengang berbagai cara. Majalah yang berdiri di Indonesia sejak 2005 ini, misalnya, rajin menggelar proyek-proyek clean up yang mengusung tema sustainable tourism.
“Kami sengaja mengusung tema ini, karena gen Z sangat peduli dengan dunia wisata. Ini terlihat dalam postingan mereka di media-media sosial. Menggandengkan isu lingkungan dengan pariwisata sangat mudah menarik perhatian mereka,” katanya.
Bersama PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) dan PT Toyota-Astra Motor (TAM), majalah ini juga menggelar kompetisi sains “Toyota Eco Youth” setiap tahunnya, untuk menumbuhkan minat generasi muda, khususnya pelajar kelas menengah atas dalam mengembangkan teknologi-teknologi yang memberi manfaat besar bagi lingkungan.
Kepedulian generasi muda, khususnya gen Z dan Milenial, terhadap lingkungan, saat ini sebetulnya banyak tercermian dalam beberapa jajak pendapat. Survei aplikasi JakPat yang digelar pada September 2022 menunjukkan, dari lebih 2300 responden usia muda, sekitar 70 persen mengaku selalu berbelanja dengan tas sendiri, sebanyak 56,2 persen sering membeli produk ramah lingkungan, dan 46,4 persen rajin mengumpulkan kemasan produk kosong ke tempat daur ulang.
Jajak pendapat yang sama juga menunjukkan, 45,2 persen responden suka membeli produk berbahan alami dan organik saat berbelanja; 42,1 persen membeli produk dengan kemasan isi ulang; dan 36,2 persen memilih merek yang peduli pada lingkungan. [ab/uh]
Forum