Berdasarkan data Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Sulawesi Selatan, wabah Covid-19 mempengaruhi keberlangsungan 1.171 usaha di 18 Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan. Akibatnya, 14.740 pekerja dirumahkan baik dengan ataupun tanpa upah, sementara 451 lainnya di-PHK. APINDO Sulawesi Selatan memperkirakan 40 persen usaha yang masih bertahan diharapkan dapat tetap membayarkan tunjangan hari raya kepada pekerja mereka.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Sulawesi Selatan, La Tunreng, mengidentifikasi sektor usaha konstruksi, energi, pertambangan, industri pengolahan, perdagangan, hotel dan restoran berada dalam situasi yang paling tertekan dan sulit bertahan dalam pandemi Covid-19. Padahal ke tujuh sektor usaha itu merupakan bisnis utama atau jantung ekonomi di Sulawesi Selatan yang paling banyak menyerap tenaga kerja.
Karena berbagai pembatasan yang dilakukan oleh pemerintah terkait pencegahan penyebaran virus corona, sekitar 60 persen dari 17 ribu sektor usaha di wilayah itu kesulitan beroperasi dan tidak bisa memenuhi kewajiban membayar tunjangan hari raya (THR) yang paling lambat harus diberikan pada Senin, 18 Mei 2020.
“Pengusaha kita itu sudah mengalami satu kontraksi beban ekonomi yang sangat berat itu sekitar 60 persen, artinya masih 40 persen, saya yakin, ada kemungkinan masih bisa merealisasikan THR yang ada” kata La Tunreng dalam diskusi virtual bertema Mampukah Pengusaha Membayar THR (17/5).
Pengusaha Tetap Berupaya Bayarkan THR Meski Diangsur
Anci seorang pengusaha furniture mengungkapkan pihaknya tetap berusaha membayarkan THR meskipun dengan cara diangsur dalam empat tahap pembayaran selama empat bulan atau selambatnya sampai Agustus 2020. Dia mengatakan wabah virus corona menyebabkan sepinya permintaan produk furniture yang semula diprediksi akan akan naik pada April dan Mei. Ia mengaku perusahaannya sudah membeli dan menyimpan banyak bahan baku sehingga tidak memiliki cukup dana untuk membayarkan THR secara penuh.
“Jadi kami sudah mensuplai bahan baku jumlahnya sangat besar untuk menghadapi permintaan pasar yang biasa meledak (tinggi) di bulan puasa, ternyata hal itu tidak ada, mengakibatkan cash flow kami itu betul-betul tidak ada, habis,” keluh Anci.
40 Rumah Sakit Swasta Turut Terdampak
Wabah Covid-19 juga berdampak pada pengusaha rumah sakit swasta. Dokter Fadli Ananda, pemilik Rumah Sakit Ananda mengakui pandemi Covid-19 meningkatkan pengeluaran rumah sakit untuk pengadaan barang sekali pakai, seperti masker dan hazmat yang sebelumnya hanya dipakai di ruang operasi, namun kini, kini dikenakan seluruh petugas medis, dan bahkan petugas keamanan.
Ia juga mengatakan, kebutuhan operasional rumah sakit juga tergantung pada ketepatan pembayaran klaim oleh BPJS.. Rumah sakit Ananda saat ini juga membatasi pelayanan di Poliklinik di mana dokter rata-rata hanya melayani lima hingga 10 pasien setiap harinya.
“Di mana kita mengambil keuntungan sendiri sebagai pengusaha rumah sakit di bahan habis pakai tersebut, mengurangi pemakaian bahan habis pakai tersebut. Pembayaran dari BPJS Kesehatan itu tetap, tidak menghitung lagi dengan pengeluaran-pengeluaran yang kita keluarkan tersebut," jelas Ananda.
Dia menambahkan kemampuan rumah-rumah sakit swasta untuk membayarkan THR akan bergantung pada kecepatan pencairan klaim rumah sakit oleh BPJS Kesehatan.
“Seluruh rumah sakit mengatakan yang bisa membayar THR adalah yang segera dibayar oleh BPJS itu sendiri, jadi memang cash flow-nya rumah sakit sendiri juga tergantung dari pembayaran BPJS kesehatan itu sendiri,” ungkap Ananda.
Hal senada disampaikan Ketua Ikatan Rumah Sakit Swasta Sulawesi Selatan, dokter Basri Palu. Ia mengungkapkan,selain dihadapkan pada beban penyediaan barang habis pakai, rumah sakit juga terkendala dengan lambatnya pembayaran klaim oleh BPJS Kesehatan. Padahal, katanya, 80-90 persen pasien yang berobat di rumah-rumah sakit swasta adalah peserta BPJS Kesehatan.
“Bahkan ada rumah sakit bulan ke lima itu belum terbayar, seperti rumah sakit tempat saya, rumah sakit swasta itu yang terakhir cair itu Januari, padahal pelayanan sudah dilakukan, ” imbuhnya.
Dia menambahkan ketakutan terhadap virus corona serta pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar turut mempengaruhi tingkat kunjungan pasien ke rumah sakit.. Menurutnya, banyak rumah sakit swasta mengurangi waktu pelayanan poliklinik atau bahkan menutupnya sama sekali.
“Mereka takut keluar, mengikuti PSBB, praktis pasien itu tidak banyak, akhirnya poliklinik kita tutup, pelayanan untuk tempat tidur kita kurangi. Bahkan oleh pemilik yayasan itu menganjurkan dipikirkan dua hal, pertama mengurangi tenaga, yang kedua melakukan gotong royong, mungkin maksudnya manajemen kita membantu mengurangi salary dan seterusnya,” lanjut dokter Basri.
Empat puluh rumah sakit swasta di Sulawesi kini hanya melayani 10 hingga 20 persen atau maksimal 30 persen dari kapasitasnya. [yl/ab]