Kalangan aktivis dari sejumlah organisasi pro-demokrasi di Aceh pekan ini menyatakan dukungan mereka atas inisiatif pemerintah RI terkait rencana menampung anak-anak yatim etnis Rohingya di sejumlah pondok pesantren di pulau Jawa.
Salah seorang Koordinator Relawan Perempuan Aceh Peduli Rohingya (PAPR) Marini M Daod mengatakan Sabtu (30/5), komitmen pemerintah RI dalam menangani pencari suaka Rohingya-Bangladesh perlu diapresiasi, termasuk rencana menampung anak pengungsi Rohingya yang yatim piatu di pondok pesantren (Ponpes) di Indonesia.
“Ini langkah positif oleh pemerintah kalau ada anak yatim pengungsi Rohingya yang ditampung sementara di pondok pesantren (Ponpes), tetapi harus dicarikan solusi, sementara berarti tidak berlama-lama. Banyak yatim piatu , anak terlantar banyak yang diurus pondok pesantren, jangan sampai jadi beban pemerintah juga,” kata Marini M Daod.
Laporan mengenai status yatim piatu anak-anak pengungsi Rohingya, tambah Marini, diperoleh berdasar pendataan petugas kemanusiaan lokal baru-baru ini. Menurut Marini, berdasar pantauan lapangan secara umum selama lebih dua pekan berada di pengungsian, kondisi kesehatan warga Rohingya-Bangladesh yang ditampung di Aceh mulai membaik, sementara perempuan, balita dan anak-anak mendapat pendampingan oleh petugas pemerintah dan internasional.
Marini mengatakan, Aliansi Aceh peduli Rohingya juga mendesak pemerintah RI dan mitra global termasuk ASEAN dan PBB agar menggunakan jalur diplomasinya agar Myanmar mengakui status kewarganegaraan etnis Rohingya.
“Perlu diplomasi global agar Myanmar memberikan status kewarganegaraan kepada warga Rohingya,” imbuhnya.
Laporan-laporan petugas kemanusiaan menyatakan, sejak diselamatkan nelayan Aceh yang terdampar di lepas pantai provinsi itu, total warga Rohingya-Bangladesh yang ditampung di Aceh dan Sumatera Utara mencapai 1700 jiwa, pengungsi dengan jumlah terbesar terdapat di Kabupaten Aceh Timur dan Kota Langsa, mencapai 790 jiwa,sebagian lainnya di Aceh utara, Aceh Tamiang dan provinsi Sumatera Utara.
Menteri Sosial RI Khofifah Indar Parawansa kepada pers mengatakan pekan lalu (27/5), sekitar 12 pondok pesantren di Jawa, terutama di Jawa Timur dan Jawa Barat menyatakan kesediaan mereka menampung anak-anak pengungsi Rohingya, terutama anak-anak berstatus yatim piatu, yang hidup sebatang kara karena tanpa orang tua, terpisah dari sanak keluarga.
Mensos Khofifah mengtakaan, pondok pesantren yang siap menampung anak pengungsi Rohingya, antara lain, Pondok Pesantren di Malang, Pasuruan, Bojonegoro, Jatim, dan Sukabumi, Jawa Barat.
Media jaringan lokal di Solo pekan lalu melaporkan, Presiden Joko Widodo menegaskan komitmennya bahwa badan PBB UNHCR dan sejumlah negara-negara anggota ASEAN, telah bersepakat dalam menangani lebih komprehensif kondisi warga pencari suaka Rohingya-Bangladesh yang ditampung di sejumlah negara sekawasan.
"Terkait pengungsi (Rohingya-Bangladesh), sementara ini kita sedang menunggu kepastian, bahwa beban biaya yang ditimbulkan dari pengungsi setelah kita tampung, itu didukung Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) dan sejumlah negara lain. Meskipun RI tetap akan keluar anggaran demi kemanusiaan. Kesepakatan menampung pegungsi juga dicapai antar Menteri Luar Negeri RI, Malaysia dan Thailand,” kata Presiden Joko Widodo.
Pihak Kementerian Luar Negeri RI menyatakanbaru-baru ini,dalam sebuah pertemuan negara sekawasan, terkait penanganan imiran Rohingya-Bangladesh, turut dibahas program reunifikasi (penyatuan kembali) para pengungsi dengan keluarganya, baik di pengungsian maupun dengan keluarga di negeri mereka berasal.
Analis geopolitik regional optimistis, di masa depan Indonesia bersama komunitas global termasuk ASEAN dapat lebih berperan dalam mengatasi masalah-masalah imigran pencari suaka, terutama mereka dari etnis Rohingya dan warga Bangladesh.
Indonesia dinilai dapat menjadi salah satu negara mediator kunci mewujudkan perdamaian kawasan, termasuk memberi kontribusi bagi penghentian konflik etnis di berbagai negara lebih komprehensif dan solutif.
Bangladesh dan Myanmar merupakan negara- negara miskin di Asia yang perkapitanya kurang dari US$ 1.000 per tahun tidak lebih baik dari Indonesia yang perkapitanya mencapai US$ 5.000.