Para kritikus mengatakan program “dana perdamaian” yang dipimpin oleh Norwegia dan Bank Dunia itu memprioritaskan pada pembangunan bukan solusi politik yang langgeng. Duta besar Norwegia membantah anggapan tersebut dan mengatakan inti dari dana itu adalah untuk menciptakan perdamaian abadi.
Para aktivis Burma mengatakan inisiatif pendanaan untuk mendorong perdamaian di daerah etnis yang baru pulih dari konflik itu bertujuan baik, tapi bisa menimbulkan lebih banyak masalah dibanding kebaikan.
Program bantuan itu diluncurkan awal tahun ini oleh Norwegia, Bank Dunia, Uni Eropa, Inggris, PBB dan Australia.
Presiden Burma yang berhaluan reformis, Thein Sein, sejak menjabat telah menandatangani gencatan senjata dengan sebagian besar kelompok pemberontak etnis, mendukung mekanisme itu.
Tapi kelompok hak asasi Burma mengeluh mereka tidak cukup melibatkan semua pihak, dan terlalu berfokus pada rencana pembangunan pemerintah sebelum terciptanya perdamaian yang kuat.
Khin Ohmar, dari organisasi Kemitraan Burma, berbicara di Klub Koresponden Asing Thailand. Dia mengatakan pembangunan seharusnya tidak menjadi pengganti penyelesaian politik.
"Pemerintah jelas telah memprioritaskan pembangunan ekonomi di atas terciptanya perdamaian melalui dialog politik. Apa yang kita saksikan sekarang adalah juga kurangnya keterlibatan perempuan dan masyarakat sipil dalam proses itu,” kata Ohmar.
Bank Dunia mengatakan program pembangunan yang diarahkan komunitas itu memberikan $ 85 juta hibah untuk pembangunan sekolah, jalan, air dan proyek-proyek lainnya yang akan diputuskan oleh penduduk setempat.
Ratusan juta dollar lagi diharapkan akan tersedia setelah Burma menyelesaikan hutang masa lalunya dengan World Bank.
Peace Donor Support Group, atau Kelompok Pendukung Donor Perdamaian yang dibentuk Norwegia bulan Juni atas permintaan Presiden Thein Sein, menjanjikan dana awal $30 juta untuk wilayah-wilayah yang dilanda konflik.
Fokus utamanya adalah pada bantuan pembangunan, termasuk bantuan jangka pendek, pembersihan ranjau darat, pengentasan kemiskinan dan pendidikan.
Tapi, setelah berkonsultasi dengan kelompok-kelompok hak asasi dan kelompok pemberontak, proyek lain dikembangkan berpusat pada pelaksanaan perjanjian gencatan senjata, seperti pendanaan kantor penghubung dan pemantauan.
Katja Nordgaard adalah duta besar Norwegia untuk Birma, Kamboja dan Thailand. Berbicara kepada VOA melalui telepon selama lawatannya minggu ini ke Burma, ia mengatakan, tujuan dana perdamaian adalah untuk mendorong dialog politik.
"Segala sesuatu yang kita lakukan adalah mencoba untuk memastikan terciptanya perdamaian yang langgeng. Kami melakukan hal ini melalui konsultasi dengan kelompok-kelompok bersenjata, dengan pemerintah, dan berusaha membangun kepercayaan, kontak, dan ruang untuk masuknya bantuan asing. Hal ini semua akan menjadi penting dalam perdamaian abadi,” papar Norgaard.
Namun kelompok-kelompok hak asasi mengatakan dana perdamaian gagal menangani beberapa penyebab dasar konflik, seperti sumber daya.
Duta besar Norwegia, Nordgaard, mengatakan, meskipun kontrol sumber daya tidak dicakup dalam dana perdamaian, itu akan dibicarakan melalui dialog politik.
Meskipun mengakui proses perdamaian itu rapuh, ia membantah kecaman yang mengatakan dana bantuan itu diberikan terlalu cepat.
Para aktivis Burma mengatakan inisiatif pendanaan untuk mendorong perdamaian di daerah etnis yang baru pulih dari konflik itu bertujuan baik, tapi bisa menimbulkan lebih banyak masalah dibanding kebaikan.
Program bantuan itu diluncurkan awal tahun ini oleh Norwegia, Bank Dunia, Uni Eropa, Inggris, PBB dan Australia.
Presiden Burma yang berhaluan reformis, Thein Sein, sejak menjabat telah menandatangani gencatan senjata dengan sebagian besar kelompok pemberontak etnis, mendukung mekanisme itu.
Tapi kelompok hak asasi Burma mengeluh mereka tidak cukup melibatkan semua pihak, dan terlalu berfokus pada rencana pembangunan pemerintah sebelum terciptanya perdamaian yang kuat.
Khin Ohmar, dari organisasi Kemitraan Burma, berbicara di Klub Koresponden Asing Thailand. Dia mengatakan pembangunan seharusnya tidak menjadi pengganti penyelesaian politik.
"Pemerintah jelas telah memprioritaskan pembangunan ekonomi di atas terciptanya perdamaian melalui dialog politik. Apa yang kita saksikan sekarang adalah juga kurangnya keterlibatan perempuan dan masyarakat sipil dalam proses itu,” kata Ohmar.
Bank Dunia mengatakan program pembangunan yang diarahkan komunitas itu memberikan $ 85 juta hibah untuk pembangunan sekolah, jalan, air dan proyek-proyek lainnya yang akan diputuskan oleh penduduk setempat.
Ratusan juta dollar lagi diharapkan akan tersedia setelah Burma menyelesaikan hutang masa lalunya dengan World Bank.
Peace Donor Support Group, atau Kelompok Pendukung Donor Perdamaian yang dibentuk Norwegia bulan Juni atas permintaan Presiden Thein Sein, menjanjikan dana awal $30 juta untuk wilayah-wilayah yang dilanda konflik.
Fokus utamanya adalah pada bantuan pembangunan, termasuk bantuan jangka pendek, pembersihan ranjau darat, pengentasan kemiskinan dan pendidikan.
Tapi, setelah berkonsultasi dengan kelompok-kelompok hak asasi dan kelompok pemberontak, proyek lain dikembangkan berpusat pada pelaksanaan perjanjian gencatan senjata, seperti pendanaan kantor penghubung dan pemantauan.
Katja Nordgaard adalah duta besar Norwegia untuk Birma, Kamboja dan Thailand. Berbicara kepada VOA melalui telepon selama lawatannya minggu ini ke Burma, ia mengatakan, tujuan dana perdamaian adalah untuk mendorong dialog politik.
"Segala sesuatu yang kita lakukan adalah mencoba untuk memastikan terciptanya perdamaian yang langgeng. Kami melakukan hal ini melalui konsultasi dengan kelompok-kelompok bersenjata, dengan pemerintah, dan berusaha membangun kepercayaan, kontak, dan ruang untuk masuknya bantuan asing. Hal ini semua akan menjadi penting dalam perdamaian abadi,” papar Norgaard.
Namun kelompok-kelompok hak asasi mengatakan dana perdamaian gagal menangani beberapa penyebab dasar konflik, seperti sumber daya.
Duta besar Norwegia, Nordgaard, mengatakan, meskipun kontrol sumber daya tidak dicakup dalam dana perdamaian, itu akan dibicarakan melalui dialog politik.
Meskipun mengakui proses perdamaian itu rapuh, ia membantah kecaman yang mengatakan dana bantuan itu diberikan terlalu cepat.