Seorang aktivis Kamboja menangis frustrasi, Senin (8/11), setelah mengetahui putranya yang menderita autisme, yang dipenjarakan karena komentar kritisnya terhadap pemerintah di media sosial, tidak akan dibebaskan seperti yang diperkirakan sebelumnya.
Prum Chantha mengatakan kepada para pendukung yang kecewa yang berkumpul dengannya di luar penjara Prey Sar di pinggiran Phnom Penh bahwa pihak berwenang mengatakan waktu hukuman yang dijalani putranya telah keliru dihitung, dan bahwa ia baru akan dibebaskan, Rabu.
''Putra saya merasa sangat senang ketika mendengar ia akan dibebaskan hari ini dan mengetahui bahwa saya di sini bersama yang lain untuk menyambutnya, tetapi sekarang mereka menahannya di penjara selama dua hari lagi,'' katanya. ''Mengapa pengadilan menahannya di penjara?''
Putranya, Kak Sovannchhay yang berusia 16 tahun, dihukum pekan lalu karena dinyatakan bersalah telah menghasut publik terkait komentarnya di grup obrolan Telegram Juni lalu. Komentarnya itu membela ayahnya, seorang tokoh politik senior, yang juga ditahan karena memposkan pernyataan di Facebook yang mengkritik Perdana Menteri Hun Sen.
Kak Sovannchhay dijatuhi hukuman delapan bulan penjara tetapi ia telah ditahan sejak Juni. Berdasarkan pedoman hukuman Kamboja, termasuk kredit untuk waktu yang dijalaninya, ia dijadwalkan untuk dibebaskan minggu ini dan keluarga telah diberitahu itu akan terjadi Senin.
Dalam sebuah pernyataan setelah hukumannya, Pengadilan Kota Phnom Penh mengatakan bahwa usianya telah menjadi faktor dalam mengurangi waktu penjaranya, dan mengatakan bahwa pihaknya tidak menerima konfirmasi medis tentang autismenya selama persidangan.
Sejumlah pengamat mengatakan, selama persidangan, pengadilan menolak dua permintaan untuk mengevaluasi gangguan mental anak itu dan kebutuhannya.
Kasus Kak Sovannchhay menarik perhatian dunia. Banyak yang mengkritik putusan tersebut, termasuk Duta Besar AS untuk Kamboja W. Patrick Murphy yang mengatakan dalam sebuah pernyataannya di Twitter bahwa kasus tersebut tampaknya bermotif politik. ''Bagaimana mungkin memenjarakan anak remaja seorang tokoh oposisi menunjukkan penghormatan terhadap HAM?'' tulis Murphy.
Prum Chantha adalah anggota kelompok Friday Wives, yang mengadakan protes menuntut pembebasan suami-suami mereka yang dipenjarakan karena mengekspresikan pandangan mereka yang kritis terhadap pemerintah Hun Sen.
Suami Prum, Kak Komphear, telah ditahan sejak Mei 2020. Prum mengatakan, Senin, ia tidak berniat untuk mundur dari tuntutannya itu, meskipun putranya dituntut.
''Pihak berwenang ingin mengintimidasi kami dan ingin kami berhenti menentang mereka,'' katanya.
Postingan yang dibuat remaja itu muncul sebagai tanggapan terhadap orang lain yang menyebut ayahnya pengkhianat, kata Prum.
Perdana Menteri Hun Sen telah berkuasa selama 36 tahun dan sering dituduh memimpin rezim otoriter dan menggunakan sistem peradilan untuk membantu melumpuhkan oposisi.
Phil Robertson, wakil direktur Human Rights Watch untuk Asia, mendesak Menteri Luar Negeri Australia Marise Payne untuk mempertanyakan kasus ini dan kasus-kasus lainnya ke para pejabat Kamboja sebelum mengakhiri perjalanan dua harinya ke negara itu Senin malam.
“Menghukum seorang anak laki-laki cacat mental karena aktivitas ayahnya menunjukkan seberapa jauh situasi HAM di Kamboja telah memburuk,'' katanya dalam sebuah pernyataan tertulis. [ab/uh]