Kasus pembunuhan terhadap empat warga sipil di Timika, Papua, yang terjadi pada bulan lalu tampaknya akan menjadi kerikil besar dalam upaya Indonesia untuk membangun nama baik di mata internasional terkait penyelesaian konflik di Papua, ujar sejumlah aktivis.
Juru bicara Jaringan Damai Papua, Yan Christian Warinussy, menilai kasus pembunuhan yang disertai mutilasi di Timika, pada 22 Agustus 2022 lalu itu semakin merugikan posisi Indonesia banyak kasus kekerasan yang terjadi di provinsi tersebut belum tertangani.
“Ini sangat mencoreng muka negara, di tengah-tengah rakyat Papua secara total. Bahkan Ini bisa menjadi satu senjata yang ampuh bagi pihak-pihak yang kontra integrasi, pasti akan membuat posisi negara semakin sulit di mata dunia dalam beberapa pertemuan-pertemuan. Apalagi sidang PBB kan baru akan berlangsung bulan September ini,” kata Yan kepada VOA.
Sejauh ini, polisi mengungkapkan bahwa terdapat 10 orang pelaku dalam kasus mutilasi empat warga sipil di Timika. Enam di antaranya adalah anggota TNI dan sisanya merupakan warga sipil. Motif dalam kasus tersebut sementara diduga merupakan bagian dari tindak perampokan di mana para pelaku hendak mengambil uang korban senilai Rp250 juta. Rekonstruksi proses pembunuhan sendiri sudah dilakukan di Mimika, Timika, pada Sabtu (3/9).
Pagar Makan Tanaman
Yan menambahkan, kasus pembunuhan tersebut harus mendapat perhatian lebih dan menjadi contoh bagaimana pemerintah tegas menindak kejahatan yang dilakukan oleh aparat keamanan. Jika tidak, akan muncul kesan di mata rakyat Papua bahwa para aparat, yang seharusnya menjamin keamanan masyarakat, justru menjadi pembunuh warga sipil.
“Ini meninggalkan kesan yang buruk sekali bagi negara, terutama aparat keamanan sebagai pengayom, pelindung rakyat. Tidak boleh ada kesan seperti pagar makan tanaman. Seharusnya mereka dihukum semaksimal mungkin sesuai dengan perbuatan mereka. Terbukti, mereka melakukan pembunuhan, apalagi yang dimutilasi di Timika. Ancaman hukuman paling berat harus dikenakan,” tandas Yan.
Di sisi lain, Presiden Joko Widodo dan Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa telah mendorong pengusutan kasus tersebut secara transparan dan tuntas. Jokowi menyampaikan pesan di sela kunjungannya ke Jayapura pada akhir bulan lalu bahwa kasus tersebut harus diusut hingga tuntas.
Namun, Yan berpendapat bahwa pesan dari presiden itu belumlah cukup.
“Menurut saya itu sudah baik, tetapi harus juga ada pemikiran bahwa langkah-langkah pendekatan keamanan (yang dijalankan pemerintah) seharusnya, secara pelan tapi pasti, mulai diperdebatkan dibicarakan, apakah efektif,” lanjutnya.
“Karena selama ini yang ada pertikaian adalah antara aparat negara dengan mereka yang disebut KKB, tetapi yang paling banyak korban adalah masyarakat sipil. Bagaimana perlindungan kepada rakyat sipil? Akses mereka untuk pendidikan, untuk pelayanan kesehatan, untuk logistik makan?” ujar Yan lagi setengah menggugat.
Jokowi telah belasan kali berkunjung ke Papua sejak ia menjadi presiden, namun hingga kini konflik di provinsi paling timur di tanah air itu tak kunjung usai. Yan mengatakan kunjungan Jokowi itu masih hanya dalam sebatas acara seremonial semata, sementara upaya untuk melakukan dialog dengan tokoh adat ataupun tokoh agama dalam penyelesaian konflik belum juga terwujud.
Dugaan Pelanggaran HAM Berat
Sementara itu, aktivis pembela HAM, Theo Hesegem, juga berpendapat, kasus pembunuhan yang terjadi baru-baru ini telah merugikan Indonesia dalam pergaulan internasional.
“Pembunuhan disertai dengan mutilasi yang dilakukan oleh enam anggota TNI di Timika terhadap empat warga masyarakat sipil dari Nduga di Timika, adalah pelanggaran HAM berat. Dan itu akan menjadi tantangan berat bagi bangsa Indonesia di mata dunia, karena pembunuhan disertai mutilasi ini sudah terjadi dan itu terbukti,” ujar Theo ketika dihubungi VOA.
Theo menilai, tindakan oknum TNI tersebut sama sekali tidak beradab, sangat keji, sadis, dan tidak berperikemanusiaan, mengingat yang menjadi korban adalah warga sipil yang tidak bersenjata.
“Ini sudah menjadi catatan bagi masyarakat internasional. Perlakuan aparat TNI di Timika dengan cara mutilasi itu menjadi tantangan berat bagi Indonesia di mata dunia. Pemerintah Indonesia harus melihat dengan jeli persoalan ini, dan harus diselesaikan dengan baik dan bermartabat,” tandas Theo.
Ia menilai akan sangat berbahaya jika dua kasus pembunuhan tersebut digiring ke ranah politik, di mana pihak-pihak tertentu berpotensi memanfaatkan kasus ini untuk menguatkan isu Papua merdeka.
Theo menjelaskan bahwa penyangkalan atas kasus pelanggaran HAM di Papua juga tidak bisa terus dilakukan, karena setidaknya kedua kasus pembunuhan tersebut membuktikan bahwa pelanggaran HAM memang terjadi di provinsi itu.
“Situasi pelanggaran HAM di Papua harus diselesaikan secara menyeluruh, itu yang penting. Presiden sudah melihat, sudah bicara dan harus membuka mata atas kejadian ini,” ujar Theo.
Kasus tersebut juga akan menjadi penghalang besar bagi upaya membangun kepercayaan masyarakat Papua terhadap institusi TNI di mana sudah sejak lama, masyarakat Papua mengalami krisis kepercayaan terhadap para aparat militer.
Theo mengatakan bahwa pemerintah Indonesia harus belajar untuk jujur dalam menyampaikan situasi HAM di Papua, khususnya kepada PBB.
“Sebagai pembela HAM, saya sangat meragukan apakah pemerintah Indonesia akan membuka diri dan mengakui kesalahannya terkait pembunuhan sadis dan keji di Timika,” lanjut Theo. [ns/rs]
Forum