Para aktivis lingkungan menyerukan dimasukkannya isu-isu perempuan ke dalam setiap upaya memerangi krisis iklim. Hal itu karena perempuan terkena dampak krisis iklim secara tidak proporsional. Presiden KTT Perubahan Iklim PBB, COP26, menyerukan hal serupa.
Kesetaraan gender berjalan beriringan dengan keadilan iklim, kata para aktivis ketika partisipasi perempuan dalam solusi iklim menjadi pusat perhatian pada KTT Perubahan Iklim PBB, COP26, di Glasgow pada Selasa (9/11).
Meskipun partisipasi perempuan dalam KTT itu secara fisik telah meningkat sejak ditetapkannya target-target pada COP20 di Lima tahun 2014, berbagai jabatan pengambil keputusan masih didominasi oleh laki-laki, kata Sascha Gabizon, ketua jaringan LSM ekofeminis Women Engage in Common Future (WECF).
“Pada awal pekan pertama, ketika segmen tingkat tinggi digelar dan para pemimpin negara hadir, hanya ada sangat sedikit pemimpin negara perempuan. Jadi, semakin tinggi posisinya, semakin sedikit perempuan yang berperan sebagai pengambil keputusan,” ujarnya.
Jaringan LSM-nya membantu para perempuan untuk dapat hadir di KTT, sehingga mereka bisa terlibat dalam berbagai diskusi.
Meski demikian, laporan Sekretariat COP26 menunjukkan, terlepas dari peningkatan kehadiran peserta perempuan – kurang lebih 50 persen total peserta – peserta laki-laki cenderung memaksimalkan waktu berbicara yang diberikan kepada mereka saat diskusi panel berlangsung.
Sementara bagi perempuan, terutama mereka yang berasal dari sisi selatan dunia, yang menanggung beban produksi pangan dan dengan demikian lebih rentan terhadap dampak perubahan iklim, suara mereka di meja perundingan menjadi lebih penting, kata Gabizon.
Direktur program kepemimpinan perempuan Republik Demokratik Kongo, Chouchouna Mpunga Losale, mengatakan, perempuan lebih rentan menjadi korban bencana iklim, karena merekalah yang menderita ketika terjadi gagal panen dan lahan yang tidak subur.
“Jika para perempuan ini tidak terlibat dalam berbagai kegiatan untuk memerangi perubahan iklim, menurut saya kegiatan itu tidak efektif. Tidak efektif karena kontribusi mereka, keahlian mereka dalam mengelola sumber daya alam, sangatlah penting,” kata Losale.
Sementara itu, aktivis Fridays For Future asal Filipina, Mitzi Tan, mengingatkan bagaimana perempuan dipaksa menjadi pekerja seks, karena hancurnya perekonomian akibat Topan Haiyan di Filipina tengah pada 2013.
“Saat kita berbicara tentang keadilan iklim, itu harus mencakup isu feminisme. Keadilan iklim harus mencakup isu ketimpangan kelas, isu rasisme. Anda harus memikirkan semua apek, karena krisis-krisis sosial-ekonomi ini memperparah krisis iklim, sekaligus diperparah oleh krisis iklim,” tukasnya.
Sementara itu, Presiden COP26 Alok Sharma pada Selasa (9/11) menegaskan bahwa perempuan dan anak-anak perempuan terkena dampak perubahan iklim secara tidak proporsional. Untuk itu, ia menekankan pentingnya mendukung partisipasi penuh perempuan dan anak-anak perempuan dalam berbagai aksi iklim.
“Kita tahu perempuan dan anak-anak perempuan terkena dampak perubahan iklim secara tidak proporsional. Kita tidak bisa membiarkan kesetaraan menjadi korban (krisis) iklim. Di sisi lain, perempuan dan anak-anak perempuan juga memimpin upaya untuk mengatasi perubahan iklim di tengah masyarakat di seluruh dunia,” ujar Sharma.
Melalui sebuah pernyataan, Badan PBB untuk Pemberdayaan Perempuan dan Kesetaraan Gender (U.N. Women) menegaskan bahwa kepemimpinan perempuan dan anak-anak perempuan sangat penting untuk mensukseskan upaya dunia mengatasi perubahan iklim.
Badan itu menyerukan partisipasi dan kepemimpinan penuh perempuan dalam pengambilan keputusan dan kebijakan di lingkungan masyarakat, nasional maupun internasional, serta untuk meningkatkan minat di segala sektor. [rd/jm]