Kelompok-kelompok HAM khawatir saat untuk mengatasi eksploitasi terhadap pekerja asing akan segera berlalu ketika Qatar bersiap menjadi tuan rumah Piala Dunia dalam beberapa hari mendatang.
Sorotan atas penyelenggaraan Piala Dunia telah ikut mendorong pengawasan terhadap jutaan pekerja asing di negara Teluk Arab yang membangun stadion dan infrastruktur canggih lainnya, suatu hal yang belum pernah terjadi sebelumnya. Selain menjadi pekerja konstruksi, para pekerja asing ini menjadi staf hotel dan petugas kebersihan selama acara olahraga terbesar di dunia itu.
Menghadapi kritik dunia internasional, Qatar telah melakukan sejumlah reformasi dalam beberapa tahun terakhir ini; termasuk mengubah sistem yang mengikat pekerja dan majikan mereka, serta upah minimum. Langkah ini dipuji PBB dan kelompok-kelompok HAM lainnya.
Tetapi para aktivis mengatakan masih banyak pelanggaran terjadi di salah satu negara dengan suhu terpanas di Bumi ini, antara lain upah yang tidak dibayar dan kondisi kerja yang berat. Para pekerja juga dilarang membentuk serikat pekerja atau melakukan mogok kerja, sehingga tidak memberi banyak jalan untuk menuntut keadilan.
Para aktivis juga khawatir dengan nasib para pekerja asing ini setelah turnamen selama satu bulan itu berakhir Desember nanti dan para pengusaha berpotensi memangkas gaji mereka.
Qatar memastikan akan tetap melakukan reformasi tenaga kerja setelah Piala Dunia berakhir. Para emir yang berkuasa mengecam balik kelompok-kelompok HAM yang mengabaikan perubahan yang telah dilakukan.
Sebagaimana negara-negara Teluk lainnya, Qatar bergantung pada jutaan pekerja asing yang kini merupakan mayoritas penduduk mereka dan hampir 95% dari angkatan kerja.
Qatar telah mengubah banyak sistem yang dikenal sebagai “kafala,” yang mengikat pekerja dengan majikan mereka, dan membuat pekerja hampir tidak mungkin berhenti atau berganti pekerjaan tanpa izin.
Tetapi kelompok-kelompok HAM mengatakan sebagian besar sistem itu masih bertahan dengan cara yang berbeda, atau sifatnya lebih informal.
Para pekerja asing seringkali masih harus membayar biaya rekrutmen yang sangat tinggi, membuat mereka sudah menanggung hutang bahkan sebelum tiba di negara itu untuk bekerja. Majikan juga masih diperkenankan membatalkan visa atau melaporkan mereka yang berhenti karena “melarikan diri,” suatu tindakan yang dikategorikan sebagai pelanggaran kriminal.
Equidem, satu kelompok hak-hak buruh yang berkantor di London, baru-baru ini mengeluarkan laporan panjang yang mendokumentasikan berbagai pelanggaran di lebih dari selusin hotel yang digunakan untuk Piala Dunia, di mana mereka mengatakan para pekerja dari Afrika dan Asia menghadapi pelecehan seksual, diskriminasi, pencurian gaji dan risiko kesehatan serta keselamatan yang tinggi.
Peneliti di Amnesty International yang berkantor di London, Ella Knight, mengatakan banyak petugas keamanan atau pekerja rumah tangga yang bekerja selama berbulan-bulan, atau bahkan bertahun-tahun, tanpa hari libur; meskipun undang-undang mengharuskan libur setidaknya satu hari per minggu. “Impunitas masih menjadi persoalan besar, sehingga majikan atau pemberi kerja tidak pernah dimintai pertanggungjawaban, atau tidak dihukum dengan cara-cara supaya pelanggaran serupa tidak terulang lagi,” ujarnya.
Aturan hukum di Qatar juga melarang pekerja membentuk serikat pekerja atau melangsungkan protes, dan pihak berwenang sangat membatasi akses media pada pekerja. Pada bulan Agustus lalu, polisi menahan setidaknya 60 pekerja yang mogok kerja karena upahnya tidak dibayar. Sementara pada tahun 2021 lalu, dua wartawan Norwegia ditangkap ketika melaporkan kasus pekerja migran.
Amnesty International dan kelompok-kelompok HAM lainnya sekarang mendesak badan sepak bola FIFA untuk menganggarkan dana $440 juta atau setara dengan total hadiah uang turnamen – untuk untuk memberi kompensasi kepada pekerja. Permohonan ini didukung oleh beberapa federasi. Badan sepak bola global juga mengatakan terbuka untuk gagasan itu.
Qatar telah menyiapkan dana sendiri pada 2018 untuk memberi kompensasi kepada pekerja yang terluka dalam pekerjaan atau yang tidak dibayar, yang menurut Atase Media Qatar di Amerika Ali Al-Ansari telah membayar sekitar $270 juta pada tahun kalender ini saja. Dia tidak berkomentar langsung tentang seruan untuk dana pemulihan yang lebih besar. [em/jm]
Forum