Sampah plastik masih menjadi masalah serius yang harus segera diselesaikan, karena dampaknya terhadap kerusakan lingkungan. Menurut data LSM lingkungan Ecoton (Ecological Observation and Wetlands Conservation), sampah plastik menyumbang sekitar 80 persen polusi plastik di lautan.
Pada masa pandemi corona, volume sampah plastik diperkirakan meningkat. Ini terjadi seiring makin populernya sistem pesan antar makanan berbasis internet. Karena takut tertular virus corona dan kesulitan bergerak, masyarakat kini lebih sering memesan makan lewat layanan itu, namun sayangnya makanan itu umumnya dikemas dalam produk yang tidak ramah lingkungan, seperti styrofoam.
Peneliti Ecoton, Andreas Agus Kristanto Nugroho, menyebut kantong plastik, styrofoam dan plastik pembungkus ukuran kecil (sachet), menjadi menyumbang terbanyak sampah plastik di Sungai Surabaya. Sampah-sampah itu menjadi bahan utama terbentuknya mikroplastik yang mencemari Sungai Surabaya yang menjadi bahan baku air minum warga.
“Yang menjadi concern kita ini adalah sachet-sachet itu sebenarnya, karena ketika kita melakukan brand audit ternyata lebih banyak sachet-sachet yang notabene itu adalah plastik multilayer yang sulit untuk dilakukan daur ulang. Itu yang akhirnya akan meningkatkan pencemaran mikroplastik yang ada di perairan atau darat,” jelas Andreas Agus Kristanto Nugroho.
Andreas mengatakan, peningkatan jumlah mikroplastik di air dan darat tidak dapat dihindari, bila pola konsumsi masyarakat masih bergantung pada plastik sekali pakai.
“Iya, akan jelas meningkat, tapi meningkat untuk proses yang agak lama, prosesnya itu adalah proses penghancurannya. Mikroplastik sekarang itu adalah pola konsumsi kita yang 50 tahun yang lalu, yang sekarang sudah jadi mikroplastik, jadi serpihan-serpihan kecil yang mencemari, belum lagi ditambahi oleh sekarang. Di masa pandemi ini orang mulai lebih banyak konsumsi plastiknya, itu yang akan meningkat ketika nanti 50 tahun lagi, kalau tidak dilakukan penanggulangan dimulai dari awal,” lanjutnya.
Aktivis lingkungan dari Komunitas Nol Sampah Surabaya, Hanie Ismail, mengajak masyarakat untuk lebih bijak dalam memanfaatkan layan pesan antar.
“Kita harus bijak memilih makanan, kadang-kadang kalau kita pesan, kami pesan tapi di situ kita benar-benar harus memilih wadah yang ramah lingkungan, terutama di pesannya itu kadang-kadang kami tulisi, jangan pakai styrofoam ya pak. Jadi kami mencoba untuk seminim mungkin untuk mengurangi sampah-sampah styrofoam itu, dan kalau pun kami belanja, kami berusaha untuk membawa kantong kain sendiri,” kata Hanie Ismail.
Hanie juga mengajak masyarakat mulai memilah sampah rumah tangga dari rumah sendiri, dengan mengelompokkan sampah sesuai jenisnya, dan tidak membuang secara sembarangan. Ia mengatakan, mengurangi penggunaan plastik akan membantu mengurangi risiko kerusakan lingkungan yang dapat merugikan generasi yang akan datang.
“Kami menganjurkan bahwa itu memang harus dipisah dari sumbernya, jadi plastik itu ya kita taruh di tempat plastik, misalkan ada botol kita taruh (tempat sampah) botol, kertas kita taruh (tempat sampah) kertas. Jadi jangan sembarangan untuk membuangnya,” imbuhnya.
Hasil survey dan kajian yang dilakukan Ecoton, juga menyebutkan, ada peningkatan polusi klorin (bahan utama disinfektan) di Sungai Surabaya. Tingginya kadar klorin merupakan indikator tingginya polusi limbah rumah tangga atau domestik. [pr/ab]