Tautan-tautan Akses

Aktivis Lingkungan Dorong Pemerintah Batalkan Proyek Tanggul Laut Raksasa


Orang-orang berjalan di dekat tanggul laut raksasa yang digunakan sebagai pembatas untuk mencegah air laut mengalir ke daratan dan menyebabkan banjir di Jakarta, 27 Juli 2019. (Achmad Ibrahim/AP)
Orang-orang berjalan di dekat tanggul laut raksasa yang digunakan sebagai pembatas untuk mencegah air laut mengalir ke daratan dan menyebabkan banjir di Jakarta, 27 Juli 2019. (Achmad Ibrahim/AP)

Presiden Prabowo Subianto berencana melanjutkan pembangunan mega proyek tanggul laut raksasa/giant sea wall (GSW) yang diperkirakan menelan biaya ratusan triliun rupiah.Aktivis lingkungan menyerukan pemerintah tidak melanjutkan proyek tersebut karena hanya akan mengatasi masalah dengan masalah lain.

Menko Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) memastikan pembangunan tanggul laut raksasa atau giant sea wall (GSW), yang disebutnya sebagai mega proyek, diupayakan akan terus berjalan, meskipun diperkirakan akan menelan anggaran yang sangat fantastis.

“Cukup besar anggaran yang diperkirakan untuk bisa membangun itu, kita tetap akan serius untuk bisa menggarap ke depan,“ ungkap AHY dalam konferensi pers di kantornya, di Jakarta, pekan lalu.

Mengingat sulitnya menjalankan proyek ini, AHY mengatakan akan mencari investor untuk pembiayaannya. “Ada keterbatasan anggaran di sana-sini, kita harus mencari sumber-sumber pendanaan yang kredibel, ini akan terus kami pikirkan dan tentunya menunggu arahan dari Bapak Presiden. Pemerintah tidak bisa sendirian, kita melibatkan atau ingin memperkuat skema kerja sama pemerintah dan badan usaha, investasi harus kita hadirkan baik dari dalam maupun luar negeri,” jelasnya seraya menambahkan bahwa uji kelayanan sudah dilakukan sejak lama.

Pada tahap awal pemerintah akan membangun tanggul laut raksasa itu sepanjang 21 kilometer di pantai utara Jakarta, dan dilanjutkan hingga ke Semarang dan Demak di Jawa Tengah, dan ke seluruh pesisir utara Pulau Jawa yang dihadapkan pada ancaman banjir rob dan penurunan muka air tanah.

Aktivis Lingkungan: Pembangunan Tanggul Laut Raksasa, Solusi yang tidak Solutif

Manajer Kampanye Tata Ruang dan Infrastruktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Dwi Sawung tidak yakin pembangunan tanggul laut raksasa ini merupakan solusi yang efektif untuk mengatasi permasalahan yang ada; bahkan dinilai berpotensi menimbulkan masalah baru.

“Misalnya masalah pencemaran sungai di Jakarta. Kalau dibangun GSW, maka pecemarannya akan terkonsentrasi di dalam pulau, jadi akan menambah permasalahan baru. Lalu hitungan ekologisnya terhadap habitat ataupun satwa. Kemudian (potensi) pola arus laut yang pasti akan berubah,” ungkap Sawung kepada VOA.

Aktivis Lingkungan Dorong Pemerintah Batalkan Proyek Tanggul Laut Raksasa
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:03:04 0:00

Sawung mencontohkan proyek reklamasi di pantai utara Jakarta yang diklaim oleh pemerintah daerah setempat sebagai solusi atas potensi tenggelamnya Jakarta, yang ternyata tidak terbukti. Solusi itu malah berdampak pada tenggelamnya beberapa wilayah pesisir di sekitarnya.

“Harusnya yang diselesaikan itu, penurunan muka tanahnya. Misalnya mengurangi penyedotan air tanah, mengurangi pembangunan bangunan yang sangat masif yang membuat daratan makin turun. Tapi itu tidak dilakukan selama ini,” jelasnya.

Hal senada disampaikan juru kampanye Urban Justice Greenpeace Indonesia, Jeanny Sirait, yang mendorong pemerintah untuk membatalkan atau tidak meneruskan mega proyek itu.

“Kami Greenpeace secara tegas menolak pembangunan GSW kenapa? Karena bukan hanya karena nilai proyeknya yang tinggi, dan upaya pemerintah untuk mencari investor, tapi juga karena dampak lingkungan, sosial, dan ekonomi yang dialami oleh masyarakat,” ungkap Jeanny.

Seorang pria memancing di dekat masjid yang terbengkalai akibat terendam air laut di Jakarta, Sabtu, 27 Juli 2019. (Achmad Ibrahim/AP)
Seorang pria memancing di dekat masjid yang terbengkalai akibat terendam air laut di Jakarta, Sabtu, 27 Juli 2019. (Achmad Ibrahim/AP)

Ia mencontohkan penurunan pendapatan nelayan akibat proyek itu.

“…kita sama-sama tahu bahwa proyek ini sebenarnya hanya ganti nama, dulu kan ada proyek NCICD, terus ganti lagi menjadi GSW, yang ujung-ujungnya lagi kita bicara soal tembok laut yang mana tembok lautnya sendiri sebenarnya pelan-pelan sudah mulai terbangun mulai dari tembok laut yang pendek sekitar 8-9 tahun yang lalu, kemudian tembok laut yang mulai agak tinggi di 4-5 tahun yang lalu. Itu mulai dilakukan pelan-pelan oleh pemerintah sebenarnya. Jadi ini tidak mulai benar-benar dari nol, tetapi efeknya sudah mulai dirasakan sama nelayan-nelayan kita,” jelasnya.

Greenpeace Indonesia, menyarankan pemerintah untuk menanam mangrove secara masif untuk memperbaiki ekosistem laut secara keseluruhan. Selain itu, penanaman mangrove ini juga bertujuan untuk memecah ombak di laut sehingga abrasi tidak terjadi di wilayah pesisir.

“Dibandingkan membangun tembok laut, membangun reklamasi, kenapa tidak kita biarkan alam membangun ruangnya sendiri dengan menumbuhkan mangrove, itu jadi pilihan dan solusi terbaik. Yang selalu jadi alasan pemerintah kenapa tidak mau menumbuhkan mangrove secara besar-besaran adalah selalu karena proses pertumbuhannya yang lama butuh waktu minimal 5-10 tahun. Benar, tapi dibandingkan dia harus bangun tembok yang sudah merusak laut dan pesisir, lalu ada dampak sosial, lingkungan dan ekonominya besar di masyarakat, dari beberapa tahun yang lalu, kenapa gak dari beberapa tahun yang lalu menanam mangrove?,” pungkasnya. [gi/em]

Forum

Recommended

XS
SM
MD
LG