Patience Williams baru berusia sepuluh tahun ketika dia menjalani praktik yang disebut menyetrika payudara. Khawatir dia akan menarik perhatian laki-laki, ibunya menempelkan benda panas ke payudaranya untuk menghentikan pertumbuhannya. “Ini sangat menyakitkan. Segera setelah selesai, saya merasa tubuh saya panas,” jelasnya. Satu dekade kemudian, Williams menyerukan diakhirinya praktik menyakitkan tersebut.
Victoria Williams, ibu Patience, yang juga pernah mengalami penyetrikaan payudara, mengatakan dia menyesali putrinya yang mengalami cobaan berat itu.
“Mereka melakukannya pada saya. Berhasil, tetapi ketika saya punya anak sendiri, saya mencobanya, saya kiri ini bukan cara yang benar. Dua anak gadisku yang lain tidak menjalani praktik ini. Yang saya lakukan hanyalah mendekatkan mereka pada saya, menjadikan mereka teman-teman saya. Apapun yang mengganggu mereka, mereka akan memberitahu saya,” komentarnya.
Meskipun sulit untuk menentukan berapa banyak perempuan yang terdampak praktik ini di Nigeria, sekitar 3,8 juta perempuan di seluruh Afrika terkena dampak penyetrikaan payudara, menurut Organisasi Kesehatan Afrika, sebuah badan kesehatan internasional.
Chioma Agwuegbo, aktivis hak gender Nigeria, mengatakan praktik tersebut melanggar hak-hak dasar manusia.
“Bayangkan seseorang memanaskan batu dan menekan bagian tubuh Anda karena tidak ingin bagian tubuh Anda itu tumbuh. Tidak seorang pun berhak menentukan laju pertumbuhan tubuh orang lain,” komentarnya.
Nigeria mengklasifikasikan praktik menyetrika payudara sebagai tindak pidana, seperti halnya praktik mutilasi alat kelamin perempuan dan pernikahan paksa.
Undang-Undang Larangan Kekerasan Terhadap Orang tahun 2015 di negara ini secara khusus memberikan sanksi kepada pelanggar yang melakukan “praktik tradisional yang berbahaya” itu dengan hukuman penjara tidak lebih dari empat tahun atau denda hingga $559 (500.000 Naira) atau keduanya. Namun, terlepas dari ketentuan undang-undang tersebut, tidak ada catatan di Nigeria mengenai pelaku yang menjalani hukuman itu.
Justice Dakulu, pemimpin politik di desa Jikwoyi, mengatakan komunitasnya berkomitmen untuk bekerja sama dengan pemerintah untuk menghentikan penyetrikaan payudara.
“Di beberapa tempat tertentu seperti di sini, di desa Jikwoyi, masyarakat masih melakukannya. Para pemimpin masyarakat adalah orang-orang yang mendengarkan pemerintah. Mereka melakukan yang terbaik untuk memastikan bahwa hal ini akan segera berakhir,” jelasnya.
Praktek ini tidak hanya menyebabkan kerusakan jaringan tetapi juga trauma. Efek samping lainnya termasuk malformasi, keterlambatan produksi ASI, dan infeksi.
Aktivis seperti Agwuegbo dan penyintas seperti Williams mengatakan undang-undang saja tidak cukup, dan mereka berusaha meningkatkan kesadaran masyarakat bahwa praktik ini harus dihindari dan mendesak para pemimpin masyarakat untuk mengutuk praktik menyakitkan tersebut. [ab/lt]
Forum