Laporan Tahunan HAM Tahun 2021 yang dikeluarkan Departemen Luar Negeri Amerika pertengahan pekan lalu masih berisi kajian tentang kemajuan dan kemunduran pelaksanaan hak asasi manusia di dunia sepanjang tahun 2020 lalu. Ketika merilis laporan itu, Menteri Luar Negeri Anthony Blinken secara terang-terangan menyebut laporan itu tidak seimbang dan tidak mencerminkan kebijakan pemerintahan Biden karena tidak memuat beberapa isu substantif yang menjadi fokus perhatian Amerika selama bertahun-tahun, khususnya soal hak-hak reproduksi perempuan.
Isu ini tidak ada dalam empat laporan tahunan sebelumnya yang dirilis pemerintahan Donald Trump. Oleh karena itu Blinken mengatakan akan mengeluarkan adendum atau laporan tambahan tentang hal ini.
“Selama bertahun-tahun laporan hak asasi kita berisi tentang kesehatan reproduksi, termasuk informasi tentang kematian ibu, diskriminasi terhadap perempuan dan akses perawatan kesehatan seksual dan reproduksi, juga kebijakan pemerintah tentang akses untuk memperoleh kontrasepsi dan perawatan kesehatan selama kehamilan dan persalinan," katanya.
"Topik ini telah dihapus dalam laporan-laporan pemerintahan sebelumnya sehingga tidak menjadi bagian dari laporan yang dirilis hari ini, yang memang mencakup kajian sepanjang tahun 2020. Saya telah meminta tim kami untuk merilis adendum (tambahan.red) untuk laporan tentang kondisi hak asasi di setiap negara yang akan mencakup isu reproduksi ini; dan kami akan memulihkan praktik mendokumentasikan hak-hak ini pada tahun 2021 dan tahun-tahun mendatang," tambah Blinken.
Diwawancarai melalui telpon, Ketua Institut Sarinah, Eva Sundari, sangat gembira dengan rencana Blinken memasukkan kajian hak asasi tentang isu-isu perempuan, termasuk yang berasal dari Indonesia.
“Saya menyambut gembira dengan rencana penulisan evaluasi untuk pemenuhan HAM yang digagas Amerika dengan menyertakan kinerja dalam bidang kesetaraan gender. Walaupun sebelum pandemi sudah ada kesenjangan pendapatan antara laki-laki dan perempuan di Indonesia, yang diperkuat dengan temuan Indeks Pembangunan Manusia UNDP bahwa keduanya sama-sama membaik, tapi untuk perempuan membaiknya hanya sedikit," kata Eva.
"Walhasil kesenjangan di antara keduanya makin lebar. Setelah pandemi ini semakin buruk, KDRT naik, kekerasan lain di luar KDRT naik, angka kawin anak naik. Ini senada dengan temuan Oxfam, OECD dll bahwa pandemi semakin memperdalam kemiskinan di semua negara, termasuk Indonesia. Perempuan merasakan dampak yang lebih buruk dibanding laki-laki," jelasnya.
Mantan anggota DPR dari faksi PDI-Perjuangan ini juga mendorong pengembangan strategi pembangunan alternatif yang lebih pro keadilan sosial sehingga lebih adil pada kelompok minoritas, khususnya perempuan.
HRW : Tempatkan Perempuan dalam Posisi Pengambilan Keputusan
Peneliti senior Human Rights Watch, Andreas Harsono, juga menyerukan Departemen Luar Negeri Amerika untuk mengkaji seberapa serius upaya memberi kesempatan pada perempuan agar bisa duduk di kursi-kursi pengambilan keputusan dan hambatan yang melingkupinya.
“Jika kita melihat berbagai indeks yang ada maka jelas tampak bahwa negara-negara yang maju adalah yang melibatkan perempuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, untuk ikut membangun – menjadi politisi, dokter, dll. Tetapi di Indonesia makin hari malah semakin banyak gerekan dan kebijakan yang menyulitkan perempuan. Bahkan sekarang ada politisi yang mengatakan perempuan itu sebaiknya di rumah saja, di dapur, merawat anak, tidak perlu berkarir. Ini suatu kemunduran," kata Andreas.
"Bahkan ketika kita bandingkan dengan Orde Baru, kalau ada politisi yang berani bicara begitu, maka Presiden Soeharto atau Ibu Tien maka ia akan masuk kotak. Kita harus bicara menentang pemikiran-pemikiran seperti ini. Juga aturan atau kebijakan yang sengaja menarget perempuan, bersikap diskriminatif terhadap perempuan," tambahnya.
Banyak Pemimpin Gunakan Pandemi Sebagai Dalih Batasi HAM
Laporan Tahunan HAM 2021 ini sejak awal sudah mengkritisi banyaknya pemimpin negara yang menggunakan krisis pandemi virus corona sebagai dalih untuk membatasi hak asasi dan mengeluarkan atau bahkan mengkonsolidasikan peraturan-peraturan yang otoriter.
“Dan perempuan serta anak-anak menghadapi risiko yang tinggi karena prevalensi kekerasan berbasis gender dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang meningkat akibat kebijakan lockdown – atau pembatasan kegiatan dan penutupan wilayah – dan hilangnya perlindungan sosial tradisional,” ujar Blinken dalam konferensi pers di Departemen Luar Negeri.
Ia juga mencatat perlunya adendum atau laporan tambahan untuk kelompok terpinggirkan lainnya, antara lain warga lansia, difabel dan komunitas LGBTQ yang “mengalami kerentanan tertentu.” [em/ab]