Dua tahun yang lalu pemerintah menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri tentang Ahmadiyah, yang isinya menyatakan bahwa Ahmadiyah tidak digolongkan sebagai agama. Ajaran Ahmadiyah bahkan cenderung dinilai sesat, dan sebagai konsekuensinya, Ahmadiyah dilarang untuk menyebarkan ajarannya. Salah satu dampak dari penerbitan SKB ini adalahnya terjadinya tindak kekerasan terhadap penganut Ahmadiyah hingga sekarang.
Setara Institute (Institute for Democracy and Peace) mencatat selama satu bulan terakhir ini saja, penyerangan terhadap warga Ahmadiyah marak terjadi, terutama di wilayah Jawa Barat seperti Bogor, Garut, Tasikmalaya dan Kuningan. Berdasarkan catatan lembaga ini, pada tahun 2008, dari 367 tindakan pelanggaran kebebasan beragama, 238 diantaranya menyasar warga Ahmadiyah. Sedangkan sepanjang tahun 2009, tercatat 33 tindakan kekerasan terhadap warga Ahmadiyah.
Untuk itu Setara Institute meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono segera mencabut SKB tiga menteri tentang Ahmadiyah itu dan memprakarsai penyusunan undang-undang yang lebih tepat untuk menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Menurut peneliti Setara Institute, Ismail Hasani, keberadaan SKB ini juga telah menjadi legitimasi berbagai keputusan pemerintah daerah untuk melakukan kekerasan terhadap jemaat Ahmadiyah. Selain itu, Ismail menilai kekerasan terhadap Ahmadiyah terjadi karena pemerintah daerah sering menggunakan Ahmadiyah sebagai kepentingan politik mereka.
“Ahmadiyah sebagai salah satu kapital politik yang bisa menghimpun dukungan publik karena dia seolah-olah menjadi isu publik. Ketika Pemda akomodatif terhadap kelompok-kelompok tertentu maka Pemda dianggap telah berprestasi, ini juga sering disinyalir oleh banyak kalangan,” ungkap Ismail Hasani.
Di Cigedug, Garut, kekerasan terhadap warga Ahmadiyahjuga berujung pada pemaksaan untuk meninggalkan ajaran mereka. Pemaksaan itu dilakukan oleh warga dan organisasi kemasyarakat tertentu.
Ahmad, seorang jemaat Ahmadiyah dari Cigedug, Garut menjelaskan,”Bubar untuk keluar dari jemaat Ahmadiyah, itu yang terjadi di Cigedug. Ada 30 orang dibawah ancaman jadi sebetulnya tidak mau.” Menurut Ahmad, ancaman yang diterima berupa pembakaran rumah dan pembunuhan.
Pengurus Pusat Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Zafrullah Ahmad Pontoh menyayangkan tindak kekerasan yang terus terjadi, baik terhadap warga maupun fasilitas beribadah Ahmadiyah. Ia meminta sebagai warga negara, pemerintah juga memperhatikan nasib warga Ahmadiyah agar dapat beribadah dengan tenang.
Menurut Zafrullah isi SKB tiga menteri tersebut menimbulkan multitafsir. Zafrullah menjelaskan, ”Hanya satu yang tidak boleh, itu menyampaikan ke luar, ke publik." Dan, menurut Zafrullah, setiap orang memiliki pemahaman yang berbeda-beda mengenai apa yang dimaksud dengan isi SKB itu.
Lebih jauh Zafrullah mencontohkan, jika ada orang Indonesia yang mendapatkan ajaran Ahmadiyah, belum tentu ia mendapatkannya dari warga Ahmadiyah yang di Indonesia. Bisa saja orang tersebut menerima ajaran Ahmadiyah dari orang di luar Indonesia yang bisa berbahasa Indonesia. Karena di Amerika dan Eropa, ada juga orang-orang yang bisa berbahasa Indonesia. Jadi menurut Zafrullah, memang sulit melakukan pembatasan, karena adanya kemungkinan perbedaan penafsiran atas isi SKB tiga menteri tersebut.