Petunjuk arah dengan cat semprot yang ditempel di dinding belakang sebuah gereja kecil menunjuk ke arah Albania dan rute yang jarang digunakan oleh para migran dan pengungsi yang memilih untuk mencoba peruntungan di negara lain selain Yunani.
Tetapi bagian yang relatif mulus dari perbatasan antara Yunani dan Albania yang umumnya sulit itu menjadi jalan utama keluar dari negara itu menuju jantung Eropa.
Pada kunjungan baru-baru ini ke daerah itu, Associated Press (AP) menyaksikan sekitar 50 orang berkemah di sebuah gardu tentara yang ditinggalkan dan hutan di sekitarnya, beberapa ratus meter dari perbatasan, atau sekitar setengah jam berjalan kaki dari desa terdekat di Yunani, Ieropigi, dan 220 kilometer di sebelah barat kota terbesar kedua di Yunani, Thessaloniki.
Mereka menunggu untuk melakukan upaya penyeberangan sendiri atau dengan bantuan penyelundup.
Husam Hderi (30), mencapai Yunani sebulan yang lalu setelah menyelinap melintasi perbatasan darat dari Turki dan kemudian dibantu oleh penyelundup manusia ke Thessaloniki. Dia mengatakan bahwa sejauh ini, dia telah membayar penyelundup 2.200 euro (sekitar Rp36 juta) untuk mencapai Ieropigi, dan bertekad untuk melanjutkan perjalanan ke utara lewat Albania, Kosovo, Bosnia Herzegovina dan akhirnya Italia.
Michalis Trasias, yang menggembalakan domba-dombanya di sisi perbatasan Yunani, mengatakan kepada AP bahwa dia melihat kelompok-kelompok migran menuju ke Albania setiap hari.
Pada awal 1990-an, puluhan ribu migran Albania berusaha keras menempuh perjalanan melalui hutan yang sama di dekat Ieropigi untuk mencari pekerjaan di Yunani setelah runtuhnya komunisme di Albania. Tiga puluh tahun kemudian, arus lalu lintas manusia di perbatasan berbalik, meskipun dalam skala yang jauh lebih kecil. Kini orang-orang dari Timur Tengah dan Afrika diam-diam melintasi hutan yang sama.
Migran atau pengungsi yang tidak ingin tinggal di Yunani memiliki beberapa pilihan, semuanya dianggap ilegal: menyelinapkan diri di feri atau membeli tempat duduk di kapal penyelundup, menuju Italia dengan menggunakan surat-surat palsu untuk melanjutkan perjalanan dengan penerbangan, atau berjalan kaki melalui Bulgaria, Makedonia Utara atau Albania.
Tetapi karena Bulgaria dianggap terlalu berbahaya dan Makedonia Utara yang dijaga semakin ketat, sejumlah besar migran memilih Albania. [lt/uh]
