Tautan-tautan Akses

Ambiguitas Trump dalam Sikapi Serangan Israel di Gaza


Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu berdiri bersama Presiden AS Donald Trump setelah menandatangani Perjanjian Abraham, di Halaman Selatan Gedung Putih di Washington, AS, 15 September 2020. (Foto: Reuters)
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu berdiri bersama Presiden AS Donald Trump setelah menandatangani Perjanjian Abraham, di Halaman Selatan Gedung Putih di Washington, AS, 15 September 2020. (Foto: Reuters)

Donald Trump, mantan Presiden Amerika Serikat (AS), dengan tegas menyatakan dirinya sebagai sekutu utama Israel, saat perang di Gaza mulai berkecamuk pada Oktober 2023.

Setelah perang tersebut memasuki enam bulan dan lebih dari 33.000 kematian di Gaza, calon penghuni Gedung Putih dari Partai Republik itu semakin tidak pasti mengenai sejauh mana dukungannya terhadap Israel.

Mantan presiden AS itu, yang dikenal karena kerap berkomentar keras mengenai topik apa saja, hanya memberikan komentar setengah hati mengenai isu tersebut dalam dua wawancara terbaru.

Bangunan di Jalur Gaza yang hancur pada 20 November 2023. (Foto: AP)
Bangunan di Jalur Gaza yang hancur pada 20 November 2023. (Foto: AP)

“Saya tidak yakin apakah saya menyukai cara mereka melakukannya,” katanya kepada penyiar acara radio konservatif pada Kamis (4/4) tentang serangan Israel.

Dalam sesi wawancara dengan media Israel, Trump memperingatkan bahwa video "bom yang dijatuhkan ke gedung-gedung di Gaza" memberikan "gambaran yang sangat buruk bagi dunia."

“Israel benar-benar kalah dalam perang PR (hubungan masyarakat-red),” kata pria berusia 77 tahun itu kepada penyiar radio Hugh Hewitt.

Sekutu Bersejarah

Meski mengungkap kekhawatirannya, Trump belum secara tegas menyebutkan krisis kemanusiaan di Gaza, di mana para pakar memperingatkan akan ancaman kelaparan, atau menyebut jumlah korban jiwa warga sipil Palestina. Demikian pula, ia tidak menyebutkan tujuh pekerja bantuan yang tewas pada Senin akibat serangan pesawat tak berawak Israel.

Presiden Donald Trump, Menteri Luar Negeri Bahrain Khalid bin Ahmed Al Khalifa, PM Israel Benjamin Netanyahu, Menteri Luar Negeri Uni Emirat Arab Abdullah bin Zayed al-Nahyan, di Gedung Putih, 15 September 2020. (Foto: AP)
Presiden Donald Trump, Menteri Luar Negeri Bahrain Khalid bin Ahmed Al Khalifa, PM Israel Benjamin Netanyahu, Menteri Luar Negeri Uni Emirat Arab Abdullah bin Zayed al-Nahyan, di Gedung Putih, 15 September 2020. (Foto: AP)

Namun, setiap komentar yang bersifat kritis terhadap Israel merupakan perubahan besar bagi seorang calon presiden dari Partai Republik itu. Pernyataannya berhasil menarik perhatian baik di Israel maupun di Washington.

Trump mengklaim bahwa ia telah melakukan lebih banyak untuk Israel dibandingkan dengan presiden AS sebelumnya.

Pada 2018, pemerintahan Trump memutuskan untuk mengubah kebijakan AS yang telah berlaku puluhan tahun dengan mengabaikan prinsip solusi dua negara untuk konflik Israel-Palestina. Langkah tersebut termasuk pengakuan sepihak atas Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan pemindahan Kedutaan AS dari Tel Aviv ke Yerusalem, yang memicu kritik dari dunia internasional.

Pada akhir masa jabatan Trump, AS memfasilitasi Kesepakatan Abraham (Abraham Accords), yang memungkinkan Israel untuk melanjutkan pencaplokan sebagian besar wilayah Tepi Barat. Akibatnya, Palestina hanya memiliki sebagian kecil dari wilayah mereka sebelumnya dan Yerusalem sebagai ibu kota di pinggiran.

Upaya pemerintahan Trump agar beberapa negara Arab mengakui Israel berhasil menghalangi penyelesaian masalah Palestina, setidaknya untuk saat ini.

Namun belum pasti apakah perubahan sikap miliarder tersebut sejak perang di Gaza akan menghasilkan perubahan kebijakan yang signifikan, jika dia terpilih kembali sebagai presiden pada November.

“Tidak ada yang benar-benar yakin dengan pandangan Trump tentang masalah ini,” ujar Danielle Pletka, seorang peneliti senior di American Enterprise Institute (AEI), lembaga kajian konservatif, kepada AFP. Ia menambahkan bahwa retorika Trump baru-baru ini terdengar lebih seperti yang berasal dari seorang "konsultan media" daripada seorang kandidat di Ruang Oval.

"Yang dia lakukan bukanlah tindakan seorang presiden, bukan pula kebijakan -- itu lebih seperti apa yang dilakukan oleh seorang pakar," katanya.

Beberapa pengamat menilai sikap ambiguitas Trump tersebut sejalan dengan tingginya pertaruhan dalam pemilihan umum di AS. Trump akan kembali bersaing dengan Presiden Joe Biden untuk dapat kembali ke Gedung Putih, padahal Biden menuai kritik tajam atas penanganan krisis Gaza.

Trump yang biasanya blak-blakan juga menggunakan strategi ambiguitas yang sama dalam isu-isu krusial lainnya, termasuk aborsi. Ia sadar bahwa mengambil posisi ekstrem di kedua kubu bisa merugikannya dalam pemilu. [ah/ft]

Forum

XS
SM
MD
LG