Amnesty International Indonesia mendorong aparat penegak hukum menyelidiki kasus kekerasan yang dilakukan polisi saat aksi protes menolak omnibus law Cipta Kerja berlangsung di berbagai wilayah Indonesia. Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid mengatakan, lembaganya telah memverifikasi 51 video yang menggambarkan 43 insiden kekerasan yang dilakukan polisi selama aksi 6 Oktober-10 November 2020.
Selain itu, Amnesty mencatat setidaknya ada 18 orang di tujuh provinsi yang dijadikan tersangka karena dituduh melanggar Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
“Insiden ini mengingatkan kita pada kekerasan brutal terhadap mahasiswa Indonesia 22 tahun lalu, di akhir masa rezim Soeharto. Pihak berwenang harus belajar dari masa lalu bahwa rakyat tidak pernah takut untuk menyuarakan hak mereka,” kata Usman dalam diskusi daring, Rabu (2/12/2020).
Usman menambahkan dari 51 video tersebut, setengahnya berisi bukti penggunaan pentungan polisi, potongan bambu, dan kayu, serta bentuk pemukulan lainnya yang melanggar hukum. Amnesty juga menyoroti penggunaan gas air mata dan meriam air (water cannon) dalam pembubaran aksi-aksi tolak omnibus law Cipta Kerja.
Menurutnya, berdasarkan Komisi HAM PBB pembubaran boleh dilakukan saat kegiatan sudah tidak lagi damai atau adanya ancaman nyata kekerasan. Selain itu, keputusan pembubaran tersebut harus dikomunikasikan dengan jelas kepada demonstran sehingga mereka mengerti dan diberikan waktu yang cukup untuk membubarkan diri. Namun, dalam video, polisi terlihat menggunakan tembakan gas air mata dan meriam air yang melanggar standar internasional.
“Insiden ini menunjukkan bahwa metode yang dilakukan oleh polisi gagal menjaga keselamatan masyarakat dan melanggar standar internasional. Pihak berwenang harus segera menyelidiki bukti ini secara menyeluruh, independen, dan tidak memihak,” tambah Usman.
Pemantauan Amnesty juga mendokumentasikan setidaknya 402 korban kekerasan polisi di 15 provinsi selama aksi tersebut. Amnesty juga mencatat sebanyak 6.658 orang ditangkap di 21 provinsi. Berdasarkan laporan dari tim advokasi gabungan, sebanyak 301 dari mereka ditahan dengan jangka waktu yang berbeda-beda.
Perwakilan Komite Keselamatan Jurnalis, Irine Wardhanie, menjelaskan polisi juga melakukan kekerasan terhadap jurnalis sepanjang aksi tolak Undang-undang Cipta Kerja. Ia menyebut setidaknya ada 56 jurnalis yang menjadi korban kekerasan pada 7 hingga 21 Oktober 2020. Sebagian besar kekerasan itu berupa intimidasi, perusakan alat atau data hasil liputan, dan kekerasan fisik. Selain itu di Jakarta, ada enam jurnalis yang juga ditahan di Polda Metro Jaya bersama para pengunjuk rasa, meski dua hari kemudian dibebaskan.
"Tentu ini adalah bentuk-bentuk pelanggaran terhadap Undang-undang Pers. Bahwa jurnalis seharusnya dilindungi tidak boleh mengalami kekerasan dalam bentuk apapun," jelas Irine.
Irine menambahkan jurnalis juga mengalami kesulitan dalam melaporkan kekerasan yang mereka alami ke kepolisian. Hal ini seperti yang dialami jurnalis di Ternate yang menjadi korban kekerasan yang ditolak saat melapor ke Polda Maluku Utara.
Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Gerindra, Habiburokhman, sependapat bahwa kasus-kasus kekerasan yang dilakukan polisi agar diselidiki. Karena itu, ia meminta Amnesty International Indonesia dan lembaga lain yang memiliki data kekerasan terkait polisi agar melaporkan secara resmi ke DPR. Habib beralasan selama ini pihaknya kesulitan untuk mendapat informasi langsung dari korban terkait kekerasan ini.
"Kekerasan terhadap pengunjuk rasa ini hampir tidak ada perbaikan yang signifikan, terus terjadi kalau ada isu besar. Kalau dulu kenaikan BBM dan tarif dasar listrik kemudian terjadi bentrokan," jelas Habiburokhman.
Habiburokhman menambahkan persoalan evaluasi terkait penanganan unjuk rasa ini akan ditanyakan kepada Kapolri Idham Aziz dalam rapat kerja bersama DPR mendatang. Sebab, kata dia, penanganan aksi unjuk rasa yang manusiawi tersebut merupakan komitmen yang disampaikan Idham Aziz saat proses pemilihan Kapolri di legislatif.
Sementara Kadiv Humas Polri Irjen Pol Argo Yuwono enggan menanggapi permintaan wawancara dari VOA terkait verifikasi video yang dilakukan Amnesty International Indonesia. Ia hanya meminta VOA menanyakan hal tersebut ke Inspektorat Pengawasan Umum (Itwasum) Mabes Polri terkait hal ini.
Namun, dalam konferensi pers Oktober lalu, Kepala Divisi Humas Polri Irjen Argo Yuwono mengatakan polisi akan menyelidiki kekerasan tersebut. Argo menjelaskan kekerasan tersebut biasanya terjadi karena situasi di lapangan sedang kacau. Ia juga mengimbau kepada jurnalis untuk menunjukkan kartu identitas kepada polisi dan berada di lokasi yang aman saat meliput aksi. [sm/em]