Presiden Joko Widodo dan Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, dinilai harus bertanggung jawab sepenuhnya atas apa yang terjadi di Wadas, Selasa (8/2). Alasannya karena Bendungan Bener memicu konfik, akibat tidak melibatkan partisipasi warga dalam perencanaannya.
Penilaian itu disampaikan Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid, dalam pertemuan dengan media, Kamis (10/2). Dia menyatakan, kekerasan terjadi karena pengerahan pasukan berlebihan. Kedatangan polisi dalam skala besar itu, merupakan respon terhadap surat kementerian PUPR tanggal 3 Februari dan surat Kementerian ATR BPN tanggal 4 Februari. Kedua kementerian itu meminta dukungan personil pengamanan pelaksanaan inventarisasi dan identifikasi di Wadas.
“Presiden Jokowi dan Gubernur Ganjar harus bertanggung jawab atas pengerahan pasukan yang berlebihan dan segala dampak ikutannya yang melanggar prinsip-prinsip pemolisian yang demokratis, kaidah negara hukum dan penghormatan hak asasi manusia,” kata Usman Hamid.
Dia juga mengingatkan, Proyek Strategis Nasional Bendungan Bener direncanakan tanpa partisipasi warga. Karena itu, menurutnya, wajar jika kemudian muncul penolakan yang berlarut, dan memicu peristiwa Selasa lalu.
Terkait kelompok warga yang setuju dan tidak setuju, Usman menilai hal itu bukan bentuk konflik horizontal.
“Yang benar adalah konflik vertikal antara warga dan negara. Benar ada perbedaan pendapat secara horizontal di kalangan warga, tetapi itu disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang terburu-buru memaksakan Proyek Strategis Nasional tanpa partisipasi dan konsultasi apalagi persetujuan dari seluruh warga,” tandasnya.
Dari video peristiwa yang menyebar luas, Usman Hamid menilai tindakan aparat telah melanggar prosedur. Dalam video-video tersebut, nampak sejumlah orang tanpa seragam menangkap seorang warga, mengikat kedua tangan, dan membawanya. Sementara sejumlah petugas polisi berseragam di sekelilingnya, tidak mengambil tindakan apapun.
“Jika pemerintah membantah, bahwa orang yang tidak berseragam bukan petugas resmi, pertanyaannya, mengapa aparat berseragam resmi justru terkesan membiarkan bahkan ada yang ikut serta melakukan tindakan yang menyimpang,” ujarnya lagi.
Disebut Gesekan Antarwarga
Pemerintah pusat sendiri masih bersikukuh, bahwa yang terjadidi Wadas adalah gesekan horisontal antara kelompok warga yang setuju dan tidak setuju dengan penambangan batu andesit. Pernyataan itu disampaikan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Moh Mahfud MD hari Rabu (9/2) sore.
“Pada proses pengamanan kemarin memang sempat terjadi gesekan di lapangan, tetapi gesekan itu hanya ekses dari kerumunan warga masyarakat sendiri yang terlibat pro-kontra atas rencana penambangan, dan Polri hanya melakukan langkah-langkah pengamanan di dalam gesekan antar warga itu,” kata Mahfud.
Menkopolhukam juga menyebut, semua informasi dan pemberitaan seolah ada suasana mencekam di Wadas, sama sesuai.
“Karena Wadas itu dalam keadaan tenang dan damai. Terutama sekarang ini. Yang tidak percaya boleh kesana. Siapa saja, itu terbuka tempat itu,” tambahnya.
Mahfud juga mengatakan, seluruh warga yang sempat diamankan di Mapolres Purworejo, sudah dilepaskan dan kembali ke rumah masing-masing. Dia juga memastikan, kegiatan pengukuran tanah oleh petugas dari Kanwil BPN Jawa Tengah akan tetap dilanjutkan.
“Dengan pendampingan pengamanan yang terukur, melalui pendekatan yang persuasif dan dialogis,” ujarnya lagi.
Pemerintah mengklaim, seluruh tahapan kegiatan rencana penambangan telah dikoordinasikan dan menyertakan Komnas HAM. Mahfud juga menegaskan, Komnas HAM mengakui adanya dua kelompok warga yang berbeda pendapat terkait penambangan.
Dia mengingatkan, pembangunan bendungan Bener adalah Proyek Strategis Nasional untuk mengaliri 15 ribu hektar, pengadaan sumber air baku, sumber listrik dan untuk mengatasi banjir. Terkait pro-kontra, Gubernur Jawa Tengah akan melakuan dialog dengan warga yang menolak, dengan fasilitas Komnas HAM.
Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo mengakui, ruang dialog harus dibuka dengan melibatkan banyak tokoh termasuk dari Komnas HAM. Selain itu, untuk menjawab pertanyaan terkait dampak lingkungan, para ahli akan dilibarkan dalam dialog tersebut.
“Ada juga pertimbangan terhadap kawan-kawan yang belum setuju, yang kemarin ada isu soal quarry, potensi lingkungan yang akan rusak, kondisi geologis yang ada di sana, saya kira itu butuh ruang untuk menjelaskan sehingga para ahli akan bisa diberikan ruang dan waktu untuk bisa menjelaskan kepada mereka,” kata Ganjar, Kamis (10/2).
Ganjar juga mengklaim, proyek ini tidak dilakukan dengan tergesa-gesa.
Tiga Warga Disidik
Dalam perkembangan berbeda, Direktur LBH Yogyakarta, Yogi Zul Fadhli mengabarkan, dari seluruh warga yang menjalani pemeriksaan, ada tiga orang yang perkaranya dinaikkan statusnya dari penyelidikan menjadi penyidikan.
“Tiga orang warga diperiksa dalam tahapan penyidikan dalam status sebagai saksi atas dugaan peristiwa pidana, yaitu pelanggaran terhadap pasal 28 undang-undang ITE, terkait dengan penyebaran konten yang bermuatan SARA,” kata Yogi, Kamis (10/2).
Keduanya juga dikenakan pasal 14 junto pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun ‘46, yang kurang lebih terkait dengan seseorang yang menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong yang memicu keonaran di kalangan masyarakat.
Karena naik status dari penyelidikan ke penyidikan itu, lanjut Yogi, polisi juga melakukan penyitaan terhadap telepon genggam ketiga warga.
“Penyidikan ini didasarkan kepada laporan polisi yang di buat pada tanggal 9 Februari. Jadi, pagi harinya mereka itu disidik, pada hari itu juga laporan polisi juga dibuat. Jadi hanya membutuhkan waktu beberapa jam saja untuk menaikkan status dari penyelidikan ke tahapan penyidikan,” tambah Yogi.
LBH juga menilai, meski saat ini masih berstatus sebagai saksi, ketiga warga sangat berpotensi menjadi tersangka. [ns/ab]