Amnesty International mengatakan China telah menciptakan keadaan darurat HAM di Hong Kong sejak memberlakukan undang-undang keamanan nasional yang ketat tahun lalu.
Organisasi pengawas HAM itu, Rabu (30/6), mengeluarkan laporan panjang mengenai dampak undang-undang tersebut pada peringatan satu tahun pengesahannya oleh Beijing dalam menanggapi protes anti-pemerintah besar-besaran yang terkadang disertai kekerasan pada tahun 2019.
Ratusan orang, banyak di antaranya, politisi dan aktivis pro-demokrasi, telah ditangkap dan dipenjarakan berdasarkan undang-undang tersebut. UU itu menarget siapa saja yang dicurigai pihak berwenang melakukan terorisme, separatisme, subversi kekuasaan negara atau berkolusi dengan pasukan asing. Mereka yang ditahan termasuk taipan media Jimmy Lai, yang perusahaannya, Next Digital, pekan lalu terpaksa menutup surat kabar pro-demokrasi Apple Daily setelah 500 petugas polisi menggerebek markas besarnya, menangkap beberapa eksekutif dan membekukan jutaan dolar asetnya.
Dalam laporan panjang tentang dampak undang-undang tersebut pada sistem peradilan kota, Amnesty menyimpulkan bahwa undang-undang tersebut telah digunakan untuk “melakukan berbagai pelanggaran HAM”. Laporan itu disusun berdasarkan penilaian pengadilan, catatan sidang pengadilan dan wawancara dengan para aktivis
“Dalam satu tahun, Undang-Undang Keamanan Nasional telah menempatkan Hong Kong pada jalur cepat untuk menjadi negara polisi dan menciptakan keadaan darurat HAM bagi warga yang tinggal di sana,” kata Yamini Mishra, direktur regional Asia-Pasifik Amnesty International.
Mishra juga mengatakan undang-undang tersebut “telah merambah ke setiap bagian dari masyarakat Hong Kong dan memicu iklim ketakutan yang memaksa penduduk untuk berpikir dua kali tentang apa yang mereka katakan, apa yang mereka cuitkan, dan bagaimana mereka menjalani hidup mereka.”
“Pada akhirnya, undang-undang yang luas dan represif ini mengancam akan membuat HAM kota itu menjadi terbengkalai dan semakin menyerupai China daratan.” [my/ab]