Amnesty International, Senin (30/11), menyerukan Dewan Keamanan PBB untuk memperpanjang embargo senjata di Sudan Selatan.
Amnesty International mengatakan aksi kekerasan, kekejaman dan kejahatan perang terhadap warga sipil telah meningkat pesat tahun ini, meskipun ada gencatan senjata dan pembentukan pemerintah bersatu pada Februari lalu.
Dewan Keamanan PBB pertama kali memberlakukan embargo senjata di Sudan Selatan pada Mei 2018, yang diperpanjang satu tahun kemudian dan diperpanjang kembali pada Mei 2020.
Penasehat senior urusan krisis dan penyelidik senjata di Amnesty International yang berkantor di New York, Brian Castner, mengatakan embargo dibutuhkan karena pasukan pemerintah “tidak menggunakan senjata mereka secara bertanggung jawab,” dan menambahkan mereka “justru menjadi pihak yang sering melakukan kekejaman.”
Dalam laporan yang disampaikan Amnesty International ke Dewan Keamanan PBB pekan lalu, kelompok HAM itu melaporkan sejumlah kasus eksekusi di luar proses hukum, pemindahan warga secara paksa, pemerkosaan, penyiksaan dan penghancuran properti warga sipil oleh pasukan pemerintah dan bekas pasukan oposisi di negara bagian Central Equatoria, antara April hingga Juni 2020.
Laporan itu disampaikan menjelang kajian atas embargo senjata di Sudan Selatan yang direncanakan berlangsung pada 15 Desember,
Laporan itu menyatakan dibandingkan tahun lalu, tingkat kekerasan terhadap warga sipil meningkat empat kali lipat tahun ini, meskipun ada gencatan senjata dan pemerintah nasional bersatu.
Castner mengatakan Pasukan Pertahanan Rakyat Sudan Selatan dan Tentara Pembebasan Rakyat Sudan dari kelompok oposisi, serta Front Keselamatan Nasional (NAS) kerap bentrok di negara bagian Central Equatoria, di mana pasukan pemerintah menyerang warga sipil yang dituduh mendukung pasukan pemberontak. [em/pp]