Tautan-tautan Akses

Amnesty Minta Pemerintah Bebaskan Tahanan Politik Papua


Aksi solidaritas pembebasan tahanan politik Papua di Bogor, Jawa Barat, Senin, 15 Juni 2020. (Foto: Tim Advokasi Papua)
Aksi solidaritas pembebasan tahanan politik Papua di Bogor, Jawa Barat, Senin, 15 Juni 2020. (Foto: Tim Advokasi Papua)

Amnesty Internasional Indonesia mendorong pemerintah untuk membebaskan tahanan politik Papua yang sebagian besar dituding makar.

Direktur Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid mengatakan pemerintah perlu membuka ruang komunikasi dengan masyarakat Papua untuk mengatasi sejumlah persoalan di Bumi Cendrawasih. Menurutnya, salah satu yang bisa dilakukan yaitu dengan membebaskan tahanan politik Papua.

Hingga 8 Juni 2020, Amnesty International Indonesia mencatat setidaknya ada 44 tahanan politik Papua yang mendekam di balik jeruji besi. Mereka diancam dengan tuduhan makar terkait aksi protes damai dan meski tidak melakukan tindakan kriminal.

"Bagaimana kita menempatkan mereka sebagai anak bangsa. Pendekatan amnesti, abolisi dan grasi sedianya lebih dikedepankan daripada pendekatan pemidanaan atau pemenjaraan mereka," jelas Usman Hamid dalam diskusi "Kebebasan Berekspresi Orang Papua di Mata Hukum Indonesia", Selasa (23/6).

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid. (Foto: Sasmito Madrim/VOA)
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid. (Foto: Sasmito Madrim/VOA)

Usman menambahkan pemerintah Joko Widodo juga pernah membebaskan tahanan politik Papua pada 2015. Bahkan kala itu diberikan kepada lima orang tahanan politik Papua yang ada unsur kriminalitasnya yakni membobol gudang senjata Kodim 1710/Wamena pada 2003. Karena itu, Usman mengatakan pemerintah semestinya melakukan hal yang sama kepada tahanan politik yang tidak melakukan tindakan kriminal.

Selain itu, Usman menambahkan tuduhan makar tersebut juga menyulitkan negara. Ia beralasan negara harus mengeluarkan biaya persidangan dan aparat hukum juga kesulitan untuk membuktikan tuduhan makar. Apalagi, kata dia, jika berkaca pada vonis kasus-kasus makar yang ditudingkan ke warga Papua hanya berkisar 10-11 bulan penjara yang jauh dari tuntutan yakni 10-15 tahun penjara.

Amnesty Minta Pemerintah Bebaskan Tahanan Politik Papua
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:02:33 0:00

"Akibatnya apa yang didakwa oleh jaksa, 15 tahun, 17 tahun, 10 tahun. Hanya berakhir oleh hakim 10-11 bulan. Itu ada ketimpangan antara konstruksi hukum yang disiapkan jaksa sebagai makar dengan apa yang dibayangkan dengan hakim," tambah Usman.

YLBHI Dorong Pemerintah Evaluasi Penegakan Hukum terhadap Orang Papua

Sementara itu, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Asfinawati mendorong pemerintah dan legislatif untuk mengevaluasi penegakan hukum terhadap orang Papua dan di wilayah Papua. Aturan yang dapat digunakan untuk mengevaluasi yaitu Undang undang Nomor 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.

Ketua Umum YLBHI Asfinawati di kantor YLBHI, Jakarta. (Foto: VOA/Sasmito)
Ketua Umum YLBHI Asfinawati di kantor YLBHI, Jakarta. (Foto: VOA/Sasmito)

"Yang penting lainnya, Indonesia selalu gagal memberikan keadilan kepada orang yang mengalami salah tangkap. Jadi tidak ada pemulihan. Jangan kita bayangkan pemulihan hanya kesehatan, tapi pengakuan dan pemulihan hak hukum mereka tidak bersalah, itu nyaris tidak ada," jelas Asfinawati.

Asfinawati juga mengingatkan potensi bahaya penerapan pasal makar dalam RUU KUHP yang tidak menyertakan unsur serangan. Padahal, kata dia, hukum kolonial yang menjadi sumber KUHP menyertakan unsur serangan dalam tindakan makar. Namun, karena tidak ada penerjemahan resmi KUHP berbahasa Indonesia, maka aparat kerap mengenakan pasal makar meski tidak ada serangan.

Kemenkumham Siap Tindaklanjuti Usul Amnesty International Indonesia

Direktur Jenderal HAM dari Kementerian Hukum dan HAM, Mualimin Abdi mengatakan, akan menindaklanjuti usulan dari Amnesty Internasional Indonesia. Termasuk berkomunikasi Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, serta meminta aparat hukum lebih berhati-hati dalam mempidanakan orang. Namun, ia menjelaskan tidak ada diskriminasi terhadap pemberian kebebasan berekspresi yang sudah dijamin konstitusi kepada warga Papua.

"Saya bersepakat memang arahan presiden ingin membangun Papua dengan hati. Infrastruktur sudah kita siapkan, tapi kalau ada seperti ini kan seperti membangkitkan yang semestinya tidak dilakukan," jelas Mualimin Abdi.

Mualimin Abdi memperkirakan penerapan pasal makar kepada warga Papua terkait aksi protes kemungkinan karena ada perbedaan tafsir atas aturan hukum. Menurutnya, hal tersebut juga kerap terjadi dalam Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang digunakan menjerat seseorang.

"Kalau kita bicara UU ITE. Dulu yang kita pikirkan kan transaksi elektroniknya. Karena pada saat itu kita ingin menyongsong bahwa suatu waktu elektronik akan berkembang. Tapi sekarang dalam implementasinya bukan lagi transaksi elektronik," imbuhnya. [sm/em]

Recommended

XS
SM
MD
LG