KAIRO —
Pada protes-protes di Kairo, anak-anak seringkali memimpin seruan-seruan atau terlihat digendong di bahu orangtua mereka dengan bendera-bendera Mesir dilukis di pipi mereka.
Meski organisasi-organisasi internasional memperingatkan bahwa anak-anak menghadapi bahaya dalam demonstasi politik yang tidak stabil, para orangtua mengatakan mereka ingin anak-anak mereka tumbuh dengan memahami makna berjuang untuk hak-hak mereka.
Dalam tendanya, beberapa anak-anak bermain di antara sekitar selusin perempuan, banyak diantaranya telah tinggal di situ selama sebulan bersama ribuan demonstran lainnya yang menuntut pengembalian kekuasaan presiden terguling Mohamed Morsi.
Saat para pria menghadapi tank-tank milik militer yang ada di luar kamp, para ibu mengambil anak-anaknya dan memasukkan mereka ke masjid untuk mengantisipasi adanya kekerasan.
Menurut seorang perempuan yang menyebut dirinya Umm Henna, ibu dari Henna, 4, dan Nouran yang masih bayi, bahaya seperti itu merupakan pengorbanan untuk mengajari anak-anaknya berjuang akan hak-hak mereka.
Namun para kelompok hak asasi manusia mengatakan anak-anak diletakkan dalam bahaya dan pemerintah sementara Mesir mengatakan beberapa demonstran menggunakan anak-anak sebagai tameng.
Pemerintah sementara yang dipimpin militer Mesir telah berulangkali memerintahkan para demonstran membubarkan demonstrasi yang diorganisir oleh gerakan Ikhwanul Muslimin untuk mendukung Morsi tersebut.
Dalam brosur-brosur yang dibagikan di kamp terseut minggu ini, Kementerian Dalam Negeri Mesir menuduh para demonstran membawa anak-anak untuk mencegah pihak oposisi menyerang mereka.
Peneliti dari Human Right’s Watch di Kairo, Heba Morayef mengatakan, demonstrasi-demonstrasi itu berbahaya untuk anak-anak, apa pun paham politik orangtua mereka.
“Kita melihat ratusan anak-anak. Saya kira secara total ada 1.100 anak-anak jika dilihat dari jumlah anak-anak yang telah ditahan selama dua setengah tahun terakhir. Dalam beberapa kasus, anak-anak itu terluka. Mereka ditembak, tewas akibat tindak kekerasan," ujarnya.
Jika pihak berwenang mencoba membubarkan para demonstran dari daerah-daerah seperti kamp pro-Morsi dekat Masjid Rabaa Adiweya, Morayef mengatakan bahwa baik para demonstran maupun pemerintah harus bertanggung jawab membuat anak-anak selamat.
“Khususnya pada kasus Rabaa, di mana ada risiko terinjak-injak, terkena gas air mata atau terperangkap dalam kontak senjata," ujarnya.
Wael Khalil, seorang aktivis veteran yang mendorong penggulingan Morsi dan Hosni Mubarak pada 2011, mengatakan bahwa protes-protes di Mesir selalu merupakan urusan keluarga.
"Karakteristik utama protes kami adalah bagaimana keluarga berkumpul. Jadi saya tidak dapat mencegahnya. Saya kira hal tersebut tidak menyeramkan," ujarnya.
Di Rabaa, para ibu mengatakan mereka paham anak-anak mereka dapat menghadapi bahaya, namun mereka yakin demonstrasi itu patut diperjuangkan sampai mati.
Anak-anak sendiri mengatakan mereka merasa lebih aman di kamp-kamp protes, dikelilingi oleh komunitas mereka dan puluhan pria dengan tongkat dan helm, dibandingkan di rumah mereka sendiri.
Meski organisasi-organisasi internasional memperingatkan bahwa anak-anak menghadapi bahaya dalam demonstasi politik yang tidak stabil, para orangtua mengatakan mereka ingin anak-anak mereka tumbuh dengan memahami makna berjuang untuk hak-hak mereka.
Dalam tendanya, beberapa anak-anak bermain di antara sekitar selusin perempuan, banyak diantaranya telah tinggal di situ selama sebulan bersama ribuan demonstran lainnya yang menuntut pengembalian kekuasaan presiden terguling Mohamed Morsi.
Saat para pria menghadapi tank-tank milik militer yang ada di luar kamp, para ibu mengambil anak-anaknya dan memasukkan mereka ke masjid untuk mengantisipasi adanya kekerasan.
Menurut seorang perempuan yang menyebut dirinya Umm Henna, ibu dari Henna, 4, dan Nouran yang masih bayi, bahaya seperti itu merupakan pengorbanan untuk mengajari anak-anaknya berjuang akan hak-hak mereka.
Namun para kelompok hak asasi manusia mengatakan anak-anak diletakkan dalam bahaya dan pemerintah sementara Mesir mengatakan beberapa demonstran menggunakan anak-anak sebagai tameng.
Pemerintah sementara yang dipimpin militer Mesir telah berulangkali memerintahkan para demonstran membubarkan demonstrasi yang diorganisir oleh gerakan Ikhwanul Muslimin untuk mendukung Morsi tersebut.
Dalam brosur-brosur yang dibagikan di kamp terseut minggu ini, Kementerian Dalam Negeri Mesir menuduh para demonstran membawa anak-anak untuk mencegah pihak oposisi menyerang mereka.
Peneliti dari Human Right’s Watch di Kairo, Heba Morayef mengatakan, demonstrasi-demonstrasi itu berbahaya untuk anak-anak, apa pun paham politik orangtua mereka.
“Kita melihat ratusan anak-anak. Saya kira secara total ada 1.100 anak-anak jika dilihat dari jumlah anak-anak yang telah ditahan selama dua setengah tahun terakhir. Dalam beberapa kasus, anak-anak itu terluka. Mereka ditembak, tewas akibat tindak kekerasan," ujarnya.
Jika pihak berwenang mencoba membubarkan para demonstran dari daerah-daerah seperti kamp pro-Morsi dekat Masjid Rabaa Adiweya, Morayef mengatakan bahwa baik para demonstran maupun pemerintah harus bertanggung jawab membuat anak-anak selamat.
“Khususnya pada kasus Rabaa, di mana ada risiko terinjak-injak, terkena gas air mata atau terperangkap dalam kontak senjata," ujarnya.
Wael Khalil, seorang aktivis veteran yang mendorong penggulingan Morsi dan Hosni Mubarak pada 2011, mengatakan bahwa protes-protes di Mesir selalu merupakan urusan keluarga.
"Karakteristik utama protes kami adalah bagaimana keluarga berkumpul. Jadi saya tidak dapat mencegahnya. Saya kira hal tersebut tidak menyeramkan," ujarnya.
Di Rabaa, para ibu mengatakan mereka paham anak-anak mereka dapat menghadapi bahaya, namun mereka yakin demonstrasi itu patut diperjuangkan sampai mati.
Anak-anak sendiri mengatakan mereka merasa lebih aman di kamp-kamp protes, dikelilingi oleh komunitas mereka dan puluhan pria dengan tongkat dan helm, dibandingkan di rumah mereka sendiri.