Dalam kurun waktu Januari hingga Juli 2019, sebanyak 526 anak menjadi korban kekerasan di Sumatra Utara (Sumut). Angka tersebut muncul dari 458 kasus yang ada. Tingginya angka kekerasan terhadap anak kini menjadi sorotan bagi Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Sumut. Kepala Dinas PPPA Sumut, Nurlela, bahkan menyebut kekerasan seksual terhadap anak merupakan kasus yang paling banyak ditemukan di Sumut.
"Kekerasan seksual 239 kasus. Human trafficking anak ada 5 kasus. Kekerasan fisik 248 kasus. Lalu, penelantaran anak ada 61 kasus. Ini yang kami tangani di seluruh Sumut. Korbannya 151 laki-laki, dan 375 anak perempuan," kata Nurlela kepada VOA, Sabtu (14/9).
Nurlela menuturkan, kasus kekerasan terhadap anak di Sumut paling banyak ditemukan di Kota Medan. Memiliki status sebagai ibu kota provinsi ternyata masih belum membuat Medan sebagai tempat layak bagi anak. Menurutnya, kasus kekerasan terhadap anak masih akan terus meningkat. Lantaran kekerasan terhadap anak mirip seperti fenomena gunung es.
"Kekerasan anak paling banyak di Medan, Kabupaten Deli Serdang, dan Kabupaten Langkat. Bisa bertambah (kasus), karena ini seperti gunung es, semakin disosialisasi orang banyak yang lapor adanya kekerasan terhadap anak," sebut Nurlela.
Banyak faktor yang menyebabkan anak rentan menjadi korban kekerasan, hingga menerima kejahatan seksual. Salah satunya adalah faktor ekonomi hingga gawai yang seperti pisau bermata dua lantaran begitu gampang menjadi sarana untuk mengakses pornografi.
"Kita harus stop, semua lini diwajibkan harus melindungi anak. Kami punya tugas untuk menyosialisasikan, pengambilan kebijakan meneruskan ke kabupaten/kota. Kami sudah menuju kabupaten/kota layak anak. Kalau kabupaten/kota sudah ramah tentang anak kekerasan tidak akan terjadi lagi," tutur Nurlela.
Upaya untuk meminimalisir tingginya angka kekerasan terhadap anak saat ini telah dilakukan pemerintah provinsi Sumut. Kata Nurlela, 33 kepala daerah di Sumut telah mengadakan Memorandum of Understanding (MoU) menuju kabupaten/kota yang layak bagi anak.
"Salah satu indikatornya, semua lini harus ramah, dan peduli terhadap hak-hak anak. Anak sangat rentan menjadi objek kekerasan. Butuh perlindungan terhadap anak. Sebab anak adalah investasi bangsa," ujarnya.
Sementara itu, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Jasra Putra, mengatakan rata-rata pelaku kekerasan terhadap anak merupakan orang terdekat. Menurutnya, pemerintah daerah harus mengedukasi masyarakat bahwa regulasi tentang perlindungan anak sudah berkembang pesat.
"Jika pelakunya orang terdekat, maka hukuman ditambah sepertiga dari hukuman asal. Penanggung jawab penuh anak ada di pemerintah daerah, masyarakat, dan keluarga," katanya kepada VOA.
Pencegahan dini kekerasan terhadap anak, lanjut Jasra, bisa dilakukan apabila sistem yang ada di masyarakat, keluarga, dan pemerintah terkoneksi satu sama lainnya. Mendeteksi dini agar kekerasan terhadap anak termasuk kejahatan seksual jangan sampai terjadi, menurutnya, perlu dilakukan oleh semua pihak.
"Perlindungan anak butuh semua pihak untuk terlibat dalam upaya pencegahan karena ini penting. Pencegahan ini bagian dari perlindungan hulu bagi anak," tuturnya.
Peran penting pihak lain juga dibutuhkan, misalnya pengawasan dari keluarga untuk mencegah anak menjadi korban kekerasan seksual perlu dilakukan sejak dini. Pasalnya, kekerasan seksual masih menjadi momok menakutkan bagi para anak di Indonesia.
"Anak-anak kadang tidak diajarkan mana bagian tubuh yang sensitif enggak boleh dipegang oleh orang lain. Ini kadang tidak dididik seperti itu, anak-anak skema pertahanannya juga terbatas," sebutnya.
Untuk diketahui, saat ini belum ada daerah di Indonesia yang berhasil meraih predikat kabupaten/kota layak anak. Surakarta, Surabaya, dan Denpasar hanya mendapat predikat utama pada penghargaan kabupaten/kota layak anak 2019 yang digelar di Makassar pada akhir Juli 2019. [aa/ah]