Sektor pertanian di pedesaan tidak menerima dampak besar dari pandemi. Petani bekerja di sawah seperti biasa, karena bercocok tanam tidak bisa dilakukan secara daring. Namun langkah ini penting, karena ternyata pandemi berdampak pada ketersediaan pangan.
Wakil Bupati Sleman, Yogyakarta, Sri Muslimatun memaparkan, sektor pertanian di daerahnya tidak mungkin berhenti karena pandemi.
“Meskipun dalam masa Covid-19, kami juga tidak pernah membiarkan lahan menjadi bero atau tidak ditanami. Begitu lahannya sudah dipanen, dikerjakan. Kita juga tidak pernah telat panen, sebab kalau telat, kualitas padi akan menurun,” kata Sri Muslimatun.
Sri Muslimatun menyampaikan itu dalam diskusi Ketahanan Pangan Pasca Covid-19 yang diadakan Program Hukum Bisnis, Universitas Binus, Selasa 16 Juni 2020.
Kabupaten Sleman adalah lumbung padi bagi Yogyakarta. Memiliki 17.137 hektar lahan pertanian, petani mampu memanen hingga 11 ton gabah kering per hektar. Sekitar 40 persen pasokan pangan Yogyakarta berasal dari kabupaten di kaki Merapi yang kaya air ini.
Kinerja petani yang tidak terdampak pandemi ini penting untuk menjaga stabilitas pangan di Sleman dan wilayah sekitarnya. Sri Muslimatun juga menguraikan berbagai strategi pengelolaan sektor pertanian, untuk menjamin pangan tersedia hingga pandemi usai.
Ancaman di Skala Global
Kisah Kabupaten Sleman yang terus berupaya menjaga surplus pangan, berpotensi berbanding terbalik di skala nasional. Pengusaha yang juga mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta, Sandiaga Salahudin Uno memaparkan tentang potensi gangguan pasokan pangan. Menurut perhitungan global, gangguan itu mungkin terjadi pada akhir tahun ini atau awal tahun depan.
Mengutip data yang ada, Sandiaga mengatakan bahwa 50 persen lebih produksi beras dunia dikuasai China, India, Vietnam dan Thailand. Pandemi mengganggu proses distribusi, terbukti sekitar 500 ribu ton beras kini tertahan di pelabuhan India.
“Jadi kita dengan adanya gangguan pasokan pangan, akan rentan terhadap perubahan harga pangan. Dan Indonesia masuk di kategori yang tinggi pada konsumsi impor pangan kita,” ujar Sandiaga.
Di sisi lain, ada ancaman Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Sandiaga mengatakan, data Kadin menyebut angka PHK sektor formal sudah mencapai 5 juta orang, dan bisa lebih 15 juta orang jika digabung sektor informal. Karena PHK, daya beli akan melemah, termasuk untuk membeli pangan.
Sandiaga berharap, pandemi ini menjadi alarm yang membangunkan semangat menutup defisit pangan Indonesia. Dia memberi resep, perlunya menumbuhkan ketahanan pangan dari unit terkecil yaitu keluarga. Pertanian di lahan kosong perkotaan, menanam di lahan belakang rumah, hidroponik dan lahan vertikal bisa menjadi jalan keluar yang digalakkan.
Pemerintah juga perlu mendorong pelipatgandaan kapasitas produksi, misalnya dengan teknologi. Bahan makanan alternatif juga perlu didorong. Sementara penciptaan lapangan kerja hijau di sektor pertanian diperlukan untuk menampung mereka yang terkena PHK.
Kebijakan Tidak Sinkron
Ekonom dari INDEF, Bhima Yudhistira Adhinegara melihat ada kebijakan yang kadang tidak sesuai. Misalnya, karena menghadapi krisis pangan pada semester kedua tahun ini atau setelah lebaran, pemerintah mengeluarkan kebijakan baru. Namun, bukannya mendorong produksi, kebijakan yang dikeluarkan justru mempermudah prosedur impor pangan.
Kebijakan melonggarkan aturan impor disaat ancaman krisis pangan beberapa bulan ke depan bukan langkah yang tepat. Langkah itu makin memperbesar ketergantungan Indonesia terhadap produk luar, tanpa upaya berarti mendorong produksi dalam negeri.
“Bahkan sampai sayur. Saya juga kaget baca data dari Kementerian Pertanian dan dari BPS, impor sayur itu bisa sampai Rp11 triliun. Jadi, sampai sayur pun kita bergantung sama impor,” kata Bhima.
Praktik impor ini kadang sulit diterima logika. Pada 2018 misalnya, kata Bhima, di masa panen raya pemerintah justru mengimpor hingga 2,2 juta ton beras. Banyak petani mengeluh karena harga gabah jatuh, sementara Bulog sebagai lembaga pemerintah untuk menstabilkan harga, kurang berperan. Setelah dilakukan pengecekan, ternyata 52 persen kapasitas gudang bulog masih penuh dengan beras yang diimpor di tahun-tahun sebelumnya.
Subsidi Pertanian Diperlukan
Dosen Hukum Bisnis di Universitas Bina Nusantara, Reza Zaki menyoroti berbagai kemungkinan yang bisa diambil terkait subsidi sektor pertanian. Sebagai anggota World Trade Organization, Indonesia memang terikat aturan untuk memberikan subsidi pertanian maksimal 10 persen. Kesepakatan ini sebenarnya berdampak besar bagi kemampuan ketahanan pangan, tetapi tetap harus ditaati.
Namun, menurut Zaki, dalam kondisi saat ini sebenarnya subsisi di atas angka itu bisa diberikan dengan tetap terhindar dari sanksi.
“Kalau kita buka pasal 13 agreement on agriculture, misalnya tentang Peace Clause, sejak 2013 sampai sekarang kita diberi ruang untuk terhindar dari gugatan negara lain, ketika memberi subsidi domestik kepada petani lebih dari 10 persen yang ditetapkan WTO. Persoalannya, duitnya ada enggak,” kata Zaki.
Karena pandemi ini pula, Pemerintahan Jokowi telah melakukan perhitungan ulang anggaran. Kementerian Pertanian termasuk yang menerima dampak kebijakan ini. Awalnya, kementerian ini dipotong anggarannya hingga Rp 24 triliun, dan bahkan kemudian naik hingga Rp 70 triliun. Di tengah tugas berat ketahanan pangan yang dibebankan Jokowi, wajar jika muncul pertanyaan atas keputusan itu.
Indonesia kerap disebut mengalami persoalan salah alokasi subsidi. Dalam situasi pangan semakin sulit dan distribusi yang bermasalah, suasana tentu akan semakin keruh. Pada kondisi inilah, kata Zaki, patut menjadi pemahaman bersama, bahwa menjaga ketahanan pangan sama pentingnya dengan penanganan krisis kesehatan. [ns/ab]