Parlemen Inggris, Selasa (15/1) melakukan pemungutan suara mengenai perjanjian Brexit, keluarnya Inggris dari Uni Eropa, yang dirundingkan pemerintah Perdana Menteri Theresa May dengan Uni Eropa.
May membatalkan pemungutan suara terdahulu pada Desember lalu, sewaktu jelas ia tidak akan memiliki cukup suara untuk meloloskan perjanjian itu, dan sejak itu hanya sedikit perubahan yang terjadi.
Anggota parlemen pendukung dan penentang Brexit menentang ketentuan-ketentuan dalam perjanjian tersebut. May berusaha menggalang dukungan pada saat-saat terakhir hari Senin, dengan meminta mereka agar mempelajari perjanjian itu lagi seraya memperingatkan berbagai konsekuensinya apabila perjanjian itu gagal dicapai.
Pokok perselisihan terbesarnya adalah mengenai pengaturan untuk memiliki perbatasan terbuka antara Irlandia Utara dan Irlandia, yang anggota Uni Eropa, yang akan membuat Inggris terikat pada kebijakan perdagangan Uni Eropa hingga kedua pihak dapat merundingkan suatu perjanjian perdagangan baru.
Para pemimpin Uni Eropa, Senin (14/1) menyatakan pengaturan semacam itu hanya akan berlaku selama diperlukan.
Para perunding dari Inggris dan Uni Eropa menyepakati ketentuan dalam perjanjian Brexit pada November lalu setelah perundingan yang sulit, dan apabila parlemen Inggris memutuskan menolak perjanjian tersebut, akan ada ketidakpastian yang sangat besar mengenai apa yang akan terjadi selanjutnya.
May mempunyai waktu hingga Senin mendatang untuk mengajukan proposal baru. Ada juga kemungkinan Inggris tiba pada tenggat penarikan pada 29 Maret tanpa ada ketentuan yang berlaku untuk menguraikan bagaimana hubungan Inggris dengan Uni Eropa apabila negara itu tidak lagi menjadi anggotanya.
Sejumlah anggota parlemen telah mengusulkan penyelenggaraan referendum ke-dua seperti yang berlangsung pada tahun 2016, yang menempatkan Inggris pada jalur meninggalkan Uni Eropa. Yang lainnya menginginkan parlemen mengambil alih kendali proses Brexit dari May dan kabinetnya. [uh]