Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan pekan lalu bahwa lebih dari 800.000 orang meninggal karena bunuh diri setiap tahun.
WHO, yang meluncurkan laporan global pertamanya mengenai pencegahan bunuh diri, mengatakan lebih banyak orang mati karena bunuh diri dibandingkan karena konflik, perang dan bencana alama sekaligus.
Badan dunia itu melaporkan bahwa setiap 40 detik, seseorang di suatu tempat di dunia melakukan bunuh diri. Meski ada angka statistik tinggi yang mengejutkan ini, WHO menyatakan hanya ada sedikit negara yang memiliki kebijakan yang ditujukan pada pencegahan bunuh diri.
Direktur Kesehatan Jiwa dan Penyalahgunaan Narkoba di WHO, Shekhar Saxena mengatakan, ada jauh lebih banyak hal yang dapat dilakukan masyarakat untuk memberikan dukungan bagi orang-orang yang rentan.
Ia menambahkan bahwa bunuh diri adalah keluaran terakhir dari orang-orang yang merasa terisolasi, depresi dan tidak memiliki harapan. Menurutnya, masyarakat dapat melakukan lebih banyak untuk memberikan dukungan pada mereka pada saat stress berat.
"Orang-orang yang akhirnya melakukan bunuh diri telah, hampir di semua kasus, mencari pertolongan dari seseorang. Bisa saja teman, anggota keluarga, sistem perawatan kesehatan, sistem jaminan sosial. Bisa juga organisasi agama dan sangat sering permintaan tolong ini tidak ditanggapi secara positif. Jadi masyarakat, keluarga, memiliki tanggung jawab untuk hadir dan memberikan dukungan yang diperlukan," ujar Saxena.
Badan Kesehatan Dunia menyebut bunuh diri masalah kesehatan global yang besar. Menurutnya, anggapan umum yang salah adalah bahwa bunuh diri adalah fenomena Barat dan negara maju. Realitasnya, sekitar 75 persen kasus bunuh diri terjadi di negara-negara berpendapatan menengah ke bawah.
WHO mengatakan bahwa metode yang paling umum secara global ada minum pestisida, gantung diri dan menembak diri. Data dari sejumlah negara Eropa, Amerika Serikat dan negara-negara maju lainnya menunjukkan bahwa akses terbatas pada alat-alat ini dapat membantu mencegah orang mati bunuh diri.
Badan PBB itu menemukan bahwa angka bunuh diri tertinggi secara global adalah tertinggi pada orang-orang berusia 70 tahun lebih. Meski demikian, Saxena mengatakan anak-anak muda juga berisiko besar. Ia mencatat bahwa bunuh diri adalah sebab utama kedua untuk kematian pada mereka yang berusia antara 15 dan 20 tahun.
"Secara keseluruhan di dunia, lebih banyak pria yang melakukan bunuh diri dibandingkan perempuan. Meskipun di negara-negara kaya, di negara-negara yang lebih maju, proporsinya lebih banyak pria. Di negara berkembang, proporsinya tidak begitu berbeda," ujar Saxena.
"Hal itu berarti bahwa tentu saja masih lebih banyak pria, namun tidak sebesar di negara-negara maju."
WHO mengatakan tingkat bunuh diri tertinggi ada di Eropa Tengah dan Timur dan di beberapa negara Asia. Badan itu mengatakan tingkat bunuh diri di Afrika terlihat rendah. Namun ia memperingatkan bahwa data dari wilayah ini sedikit dan kurang dapat diandalkan.
Para pejabat kesehatan sepakat bahwa bunuh diri yang dilakukan selebriti dapat memancing perilaku meniru. Ilmuwan di WHO, Alexandra Fleischmann, mengatakan ada kaitan antara bunuh diri yang dilaporkan di media dan tindakan yang dilakukan setelahnya.
"Jadi, hal ini menggarisbawahi dan menekankan peran media dalam melaporkan kasus bunuh diri. Bunuh diri seharusnya tidak dijadikan hal yang glamor atau sensasional di media karena perilaku imitasi dapat mengikutinya," ujar Fleischmann.
Di antara rekomendasi-rekomendasinya, WHO mendesak pengakhiran kriminalisasi percobaan bunuh diri.
WHO menyatakan saat ini ada 25 negara di dunia -- di Afrika, Amerika Selatan dan Asia -- di mana bunuh diri dan percobaan bunuh diri adalah tindakan kriminal. Bahkan, menurut WHO, orang yang tidak sengaja mengalami overdosis sesuatu bisa berakhir di penjara, bukannya fasilitas kesehatan yang dapat membantunya sembuh.