Pakar keamanan internasional mengatakan kepada VOA bahwa Presiden Rusia Vladimir Putin sedang mencoba untuk mengaitkan Ukraina dengan serangan di gedung konser Moskow meski tanpa bukti. Menurutnya, Putin melakukan hal itu agar dapat menggalang dukungan operasi militer Rusia di Ukraina dari masyarakat.
Serangan bersenjata di venue musik balai kota Crocus di pinggiran Kota Moskow pada 22 Maret lalu menewaskan sedikitnya 143 orang dan melukai 360 orang lainnya. Kelompok Negara Islamic (ISIS) telah mengklaim sebagai pihak yang melakukan serangan tersebut.
Otoritas Rusia menyatakan bahwa mereka telah menangkap 12 orang pelaku yang disebut terkait dengan serangan itu, termasuk empat orang terduga penembak yang telah diidentifikasi sebagai warga negara Tajikistan.
Kemungkinan akan adanya serangan, yang diklaim oleh IS-Khorasan, cabang dari ISIS itu, sebelumnya telah diperingatkan oleh badan intelijen Amerika Serikat kepada Rusia pada awal Maret. Namun, Kremlin menuduh Ukraina telah menyiapkan “jendela” bagi warga Tajikistan yang disebut terlibat dalam penembakan itu untuk melarikan diri.
Kolonel Purnawirawan Robert Hamilton, peneliti di Institut Timur Tengah di Washington sekaligus pakar keamanan, mengatakan bahwa langkah Rusia itu adalah “taktik yang aneh tetapi mudah digunakan Kremlin, ketika mencoba menyambungkannya dengan Ukraina.” Hamilton meyakini bahwa serangan itu tidak termasuk dalam kepentingan Kyiv, bahkan jika dilihat dari sudut pandang strategi militer untuk melukai Rusia.
“Ukraina memiliki cara lain untuk menyerang Rusia dan telah melakukannya dengan menggunakan drone di bawah air dan udara, tetapi mereka menyerang target militer atau ekonomi, bukan tempat konser yang sampai menewaskan dan melukai ratusan warga sipil,” ujar Hamilton.
Mengalihkan kesalahan
Adrian Shtuni, peneliti senior di Pusat Kontraterorisme Internasional di Den Haag mengatakan bahwa serangan teroris dalam skala tersebut, dan di kota dengan pengawasan ketat seperti Moskow, membutuhkan waktu perencanaan yang cukup lama, serta akses terhadap uang, logistik, senjata, dan jaringan ekstremis yang mampu dan mau melakukannya secara rahasia.
Max Abrahms, profesor rekanan di Universitas Northeastern di Boston, mengatakan bahwa semua bukti yang ada mengindikasikan bahwa ISIS berada di balik serangan tersebut.
“Ketika ISIS melakukan serangan dan mengaku bertanggung jawab, mereka melalui proses yang sangat spesifik. Mereka memiliki saluran media khusus yang digunakan untuk mengklaim tanggung jawab. Sekarang, ISIS telah melalui proses itu dan memberikan informasi tambahan, foto dan video, yang telah dikonfirmasi oleh Amerika dan Eropa,” ujar Abhrams.
Mencari dukungan publik
Lebih lanjut Abrahms mengatakan bahwa serangan teroris dapat memperkuat kepemimpinan negara yang menjadi korban serangan itu, mengingat Putin memiliki pengaruh yang lebih kuat secara politis setelah serangan yang dilakukan ekstremis Chechnya.
Otoritas Rusia mengonfirmasi bahwa mereka telah menerima informasi dari badan intelijen Amerika pada awal Maret tentang kemungkinan serangan teroris. Tetapi intel itu disangkal dan disebut sebagai “provokasi dan upaya untuk mengganggu keamanan nasional.”
Untuk itu, menurut Hamilton, tuduhan Rusia atas dugaan keterlibatan Ukraina dalam kasus ini sejalan dengan narasi “bahwa Putin sedang berusaha untuk maju selama bertahun-tahun – bahwa Barat sedang berperang melawan Rusia.
Hingga kini belum jelas dampak apa yang akan timbul dari tuduhan Moskow itu, mengingat situasi politik di Rusia saat ini di mana Putin baru saja memenangkan masa jabatan enam tahun yang baru, dan pemerintahan yang menindas secara brutal segala bentuk oposisi politik.
Shtuni percaya bahwa serangan di balai kota Crocus merupakan kegagalan pribadi yang signifikan bagi Putin. Dorongan Kremlin untuk menyalahkan Ukraina menurutnya sangat sesuai dengan kampanye terbaru negara itu untuk merekrut 150.000 orang menjadi tentara.
“Kampanye disinformasi dan mobilisasi militer yang semakin intensif mungkin adalah indikasi niat Kremlin untuk menggencarkan perang ilegal dan agresi berdarah terhadap Ukraina dan rakyatnya,” ujar Shtuni. [ti/jm]
Forum