Tautan-tautan Akses

Apakah AS akan Kembali Bergabung dengan TPP?


Para menteri perdagangan dan delegasi dari anggota Trans Pacific Partnership (TPP) dalam Pertemuan Tingkat Menteri TPP selama APEC 2017 di Da Nang, Vietnam, 9 November 2017. (REUTERS / Na Son Nguyen)
Para menteri perdagangan dan delegasi dari anggota Trans Pacific Partnership (TPP) dalam Pertemuan Tingkat Menteri TPP selama APEC 2017 di Da Nang, Vietnam, 9 November 2017. (REUTERS / Na Son Nguyen)

Dengan peralihan pemerintahan dari Donald Trump ke Joe Biden, banyak kalangan bertanya-tanya apakah Amerika, dari segi perdagangan dan investasi, akan berpaling ke Asia Tenggara lagi?

Tampaknya era liberalisasi perdagangan sudah lewat sehingga tidak mudah bagi pemerintahan baru Biden untuk segera bergabung kembali dalam kesepakatan perdagangan besar Trans Pacific Partnership (TPP).

TPP merupakan persetujuan semasa Presiden Barack Obama dan ditandatangani oleh 11 negara lainnya di Asia.

Setelah penarikan Amerika semasa pemerintahan Trump, ke 11 negara penandatangan itu merundingkan kembali TPP dan memberi tampilan baru pada 2018. Kini kemitraan itu dikenal sebagai "The Comprehensive and Progressive Agreement for Trans-Pacific Partnership" (CPTPP), atau disebut juga TPP 11.

Sementara Amerika masih dilanda oleh pandemi COVID-19 dan ekonominya terpuruk, meskipun Joe Biden mencanangkan “America is back,” tampaknya pemulihan persetujuan ini tidak akan menjadi prioritas utama pemerintahannya.

David Dollar adalah peneliti political economy di Brookings Institution. Ketika diwawancarai oleh VOA, ia menuturkan, "Presiden Biden juga menekankan bahwa dia ingin berdialog dengan sekutu-sekutu Amerika, dan memperkuat persekutuan kita. Tetapi dia akan mendengar baik dari Eropa maupun negara-negara lain, seperti Jepang dan Korea Selatan, mereka ingin sampai tahap tertentu, Amerika bergabung kembali dalam masyarakat internasional."

Tetapi, menurut Dollar, pemerintahan Biden baru akan bergerak dalam isu-isu perdagangan pada tahun kedua pemerintahannya.

Diwawancarai secara terpisah oleh VOA, Rocky Intan, peneliti di Center for Strategic and International Studies, CSIS, Jakarta menilai, Indonesia dan negara-negara di kawasan akan menuntut ketegasan, karena penarikan diri Amerika semasa pemerintahan Trump terasa sebagai a stung atau “sengatan” bagi negara-negara di kawasan. Selain itu:

"Seandainya AS ingin kembali bergabung dengan CPTPP di bawah pemerintahan Biden dan yang kini disertai sebuah kongres yang dikuasai Demokrat, kemungkinan besar Amerika menuntut beberapa peraturan yang lebih ketat dibandingkan yang ada sekarang, terkait tenaga kerja dan lingkungan. Apakah Indonesia dan negara-negara lain di kawasan akan menyambut baik hal itu? Belum tentu juga, karena negosiasi itu kan kompleks ya dan butuh waktu bertahun-tahun."

Pertemuan virtual para pemimpin negara Asia-Pasifik yang berpartisipasi dalam Regional Comprehensive Economic Partnership Agreement (RCEP), 15 November 2020. (Foto: dok).
Pertemuan virtual para pemimpin negara Asia-Pasifik yang berpartisipasi dalam Regional Comprehensive Economic Partnership Agreement (RCEP), 15 November 2020. (Foto: dok).

Sementara itu, pada November tahun lalu, China bersama 14 negara Asia Pasifik lainnya telah menandatangani persetujuan perdagangan terbesar di dunia, "The Regional Comprehensive Economy Partnership" (RCEP). Menurut analis, itu akan semakin memperkuat pengaruh politik dan ekonomi China di kawasan Asia Tenggara.

Jadi, meskipun dari sudut pandang keamanan China memprihatinkan negara-negara ASEAN, negara itu memiliki nilai perdagangan dua kali lipat dengan ASEAN dibandingkan Amerika.

Menurut Dollar, ASEAN tidak tertarik untuk mengubah hubungannya dengan China. Namun, mereka bersedia mempertahankan persekutuan keamanan dengan Amerika dan juga mengundang Amerika untuk aktif kembali berdagang di kawasan ini, yang selama empat tahun diabaikan oleh Amerika. [jm/ka]

XS
SM
MD
LG