Bakal calon presiden dari Partai Republik Donald Trump memicu badai politik hari Senin (7/12) ketika ia menyerukan melarang Muslim masuk ke Amerika setidaknya untuk sementara, bahkan warga negara Muslim AS yang ingin pulang ke Amerika setelah bepergian keluar negeri. Sebelumnya, bakal calon presiden yang juga dari Partai Republik, Ted Cruz, mengusulkan hanya menerima pengungsi Suriah beragama Kristen di Amerika.
Tapi apakah presiden bisa secara hukum memerintahkan tindakan tersebut, dengan persetujuan kongres?
"Tindakan itu melanggar Konstitusi. Ini adalah diskriminasi berdasarkan agama, yang dilarang oleh Konstitusi," kata Suzanna Sherry, seorang professor di Universitas Vanderbilt di Tennessee.
Rencana Trump adalah "usulan yang mengkhawatirkan," dan juga berpotensi mengekang klausul perlindungan setara Amandemen 14, kata Kevin R. Johnson, dekan fakultas hukum Universitas California, Davis. "Tindakan tersebut sangat inkonstitusional."
"Sistem hukum dan perundang-undangan kita berdasarkan kebijakan non-diskriminasi," kata Jonathan Turley. Ahli hukum George Washington University menulis di blog miliknya hari Selasa bahwa usulan Trump untuk "melarang total" Muslim masuk ke Amerika "melanggar sejumlah perlindungan domestik dan internasional." Ia juga mengatakan pada VOA, "Alih-alih menjadi negara yang telah lama membela kebebasan beragama, kita akan menjadi momok kebebasan beragama."
"Donald Trump memecah belah kita dengan agama. Sangat tidak mewakili nilai Amerika," tambah Akhil Reed Amar, seorang professor hukum Yale University.
Mereka adalah beberapa ahli yang memberikan pandangannya kepada VOA pada hari Selasa, sehari setelah Trump mengeluarkan pernyataan mendesak larangan Muslim masuk ke Amerika "sampai pemimpin negara kita bisa memahami apa yang terjadi." Pernyataan itu keluar setelah serangan teroris minggu lalu di California dan bulan lalu di Paris.
"Sejumlah besar populasi Muslim," telah menyatakan "kebencian luar biasa" terhadap rakyat Amerika, kata Trump, mengulangi seruannya tentang larangan tersebut baik saat berkampanye di South Carolina Senin siang dan di beberapa acara berita TV AS pada hari Selasa.
Pernyataannya mengundang kecaman luas, termasuk dari Ketua DPR Paul Ryan dan anggota Partai Republik terkemuka lainnya untuk menjauhkan diri dan partai mereka dari Trump.
Tapi Senator Cruz dari Texas mengadakan konferensi pers hari Selasa untuk "memuji Donald Trump karena mengambil posisi dan memusatkan perhatian Amerika tentang perlunya mengamankan perbatasan kita."
Cruz mengakui ia tidak setuju dengan rencana Trump dan menggarisbawahi rencananya sendiri. Ditemani oleh gubernur Texas yang merupakan anggota Partai Republik, Greg Abbott, ia mengumumkan sebuah RUU yang akan memungkinkan gubernur memilih tidak menyediakan pemukiman bagi para pengungsi di negara bagian mereka apabila mereka yakin proses pemeriksaan latar belakang tidak cukup untuk memastikan keamanan publik. Cruz juga telah memperkenalkan undang-undang yang menyerukan moratorium selama tiga tahun dalam penerimaan pengungsi dari negara-negara di mana kelompok ISIS beroperasi.
Sherry, professor Vanderbilt, mengatakan ia tidak "terlalu terkejut" dengan posisi Trump karena "ia telah mengusulkan berbagai tindakan inkonstitusional sebelumnya…. Ia mengira bisa menghapuskan kewarganegaraan yang didapat berkat lahir di Amerika," katanya mengacu pada komentar Trump sebelumnya. Amandemen ke-14 yang diratifikasi pada tahun 1868, secara otomatis memberikan kewarganegaraan bagi anak yang lahir di tanah AS.
Cruz "jauh lebih berhati-hati" daripada Trump, kata Amar dari Yale tentang anggota parlemen Texas yang lahir di Kanada itu. "Ia tidak mengusulkan tes keagamaan. Ia mengatkaan kita harus memeriksa baik-baik orang-orang yang berasal dari negara-negara tertentu."
Sejarah imigrasi AS
Undang-undang imigrasi AS telah lama membedakan calon pendatang berdasarkan negara asal mereka.
"Sejarah tentang hal ini memang tidak baik,” kata Johnson dari UC-Davis, penulis buku "The Huddled Masses Myth," sebuah buku tentang imigrasi AS dan hak-hak sipil. "Dalam beberapa hal, ini seperti ingin menghidupkan kembali undang-undang pengecualian China."
Undang-undang pengecualian China tahun 1882 adalah manuver legislatif pertama untuk melarang imigran China masuk ke Amerika. Kemudian, Undang-undang Imigrasi tahun 1924 membuat sistem kuota yang lebih menguntungkan orang-orang Eropa berkulit putih daripada orang-orang Asia dan Afrika, sebuah kebijakan dihentikan pada tahun 1965. Pada tahun-tahun berikutnya, pemerintah AS, yang memerangi komunisme gaya Soviet, menyambut warga Kuba sebagai pengungsi politik tapi mencoba menghalangi warga Haiti sebagai pengungsi ekonomi, karena "penting bagi kita untuk menolak rezim komunis di depan rumah kita," kata Amar.
Setelah serangan teroris 11 September 2001, pemerintah AS pada tahun 2002 dan 2003 mengharuskan pria bukan warganegara berusia 16 ke atas mendaftarkan diri di Layanan Imigrasi dan Naturalisasi (INS) jika mereka berasal dari salah satu dari 25 negara yang didominasi oleh Muslim. Program tersebut berakhir setelah INS dilebur ke Departemen Keamanan Dalam Negeri.
"Negara-negara bisa membuat sistem khusus untuk mengkaji aplikasi ... atau kedatangan dari kawasan-kawasan tertentu," kata Turley. Sebuah negara punya "hak untuk meninjau orang-orang yang masuk ke negaranya tidak hanya untuk memastikan perbatasannya aman" tapi juga tidak membantu penjahat melarikan diri, khususnya dari daerah konflik "yang mengalami pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia."
"Apa yang diusulkan Trump adalah sesuatu yang jauh lebih semena-mena, sangat tidak diharapkan dan jauh lebih berbahaya," kata Turley. "Ia memberi kesan hanya agama" yang menjadi satu-satunya faktor penentu untuk melarang masuk ke Amerika.
Spektrum perlindungan
Perlindungan konstitusional berbeda-beda berdasarkan status individu, kata Turley. Mereka yang mempunyai perlindungan terbaik adalah warga negara AS, dan "upaya apapun untuk melarang Muslim [warga negara Amerika] kembali ke negaranya adalah tindakan yang sangat bertentangan dengan undang-undang." Selain melanggar perlindungan kebebasan beragama pada Amandemen Pertama, juga melanggar Amandemen kelima, yaitu larangan merampas "kehidupan, kebebasan atau properti" seseorang.
Perlindungan itu semakin berkurang: dari warga AS dengan status hukum, atau yang biasa disebut pemegang "green card," hingga warga gelap. Tapi bahkan kategori terakhirpun, yang punya sedikit perlindungan di bawah hukum konstitusional, "mungkin punya hak di bawah hukum internasional," kata Turley. Hukum internasional melarang diskriminasi agama dan "juga mengakui hak kelompok atau individu untuk bepergian."
Masalah di dalam dan luar negeri
Turley juga menyebutkan bahwa individu yang bekerja atau dikontrak oleh pemerintah Amerika, seperti staf kedutaan besar Amerika, "diwajibkan untuk memenuhi kebijakan non-diskriminasi" bahkan ketika mereka berada di luar negeri. Usulan Trump untuk "memilah Muslim" akan "menimbulkan serangkaian konflik" di dalam birokrasi pemerintah AS.
"Kita tidak hanya akan bertentangan dengan hukum internasional tapi juga dengan komunitas internasional," tambah Turley. Uni Eropa, contohnya, "diatur oleh kebijakan-kebijakan anti-diskriminasi. Kita akan menempatkan sekutu terdekat kita di posisi yang sulit…. Kita akan menjadi olok-olokan di komunitas internasional."
Dan di Amerika sendiri, komentar Trump menimbulkan lebih banyak kebencian terhadap Muslim, kata Johnson.
"Ada ketakutan besar di antara komunitas Muslim di Amerika tentang perlakuan kepada mereka, dan komentar-komentar seperti ini, entah ia hanya ingin mendapatkan perhatian atau tidak, [punya] dampak dalam kehidupan orang-orang."
Amar dari Yale, warga negara yang lahir di Amerika dari imigran India, mengakui adanya kebutuhan melindungi perbatasan AS. Tapi, katanya, "salah besar mengkambinghitamkan Muslim Amerika, Muslim dunia, yang sebagian besar membantu kita dalam perang melawan Islam radikal."
Turley mengutarakan pendapat terakhirnya tentang rencana Trump tentang pemeriksaan berdasarkan agama, yang ia sebut "tidak ada gunanya bagi pertahanan perbatasan."
"Seseorang yang mau masuk ke Amerika untuk melakukan serangan teroris tidak akan segan-segan berbohong tentang agama mereka," kata Turley. "… Saya yakin pasti akan ada lebih banyak Quaker," yang keyakinannya mempromosikan non-kekerasan, "datang dari Timur Tengah." [dw]