Bayangkan menempuh perjalanan dari Jakarta ke Yogyakarta selama kurang dari setengah jam. Kemungkinan itu sedang dijajaki oleh Hyperloop Transtek Indonesia, yang berharap untuk mengimplementasikan moda transportasi masa depan hyperloop, yang kecepatannya melebihi pesawat terbang.
Rencana hyperloop di Indonesia ini diawali dengan penandatanganan perjanjian studi kelayakan pada awal bulan Maret di Jakarta. Perjanjian bernilai 2.5 juta dolar itu melibatkan Hyperloop Transportation Technologies (HTT), salah satu perusahaan pengembang hyperloop yang berbasis di AS, dengan perusahaan swasta Hyperloop Transtek Indonesia (HTI), disaksikan Kementerian Perhubungan.
Ini merupakan perjanjian Hyperloop pertama di Asia Tenggara. Salah seorang pendiri HTI, Dwi Putranto Sulaksono, mengatakan kepada VOA studi kelayakan yang diperkirakan memakan waktu setahun itu, akan diawali di ibukota, Jakarta.
“Treknya atau rutenya sedang kita evaluasi atau pelajari, rute mana yang tidak terlalu sulit tapi sangat diperlukan oleh penduduk Jakarta, khususnya padat area yang mana nanti akan bisa mengurangi atau bahkan menghilangkan waktu yang lama bagi seseorang untuk pergi dan pulang dari rumah ke tempat kerja dan kembali ke rumahnya,” ujar Dwi Putranto.
Dalam pernyataan yang dirilis awal bulan ini, pimpinan HTT, Bibob Gresta, mengatakan, “Indonesia, dan Jakarta, pada khususnya, adalah salah satu wilayah paling padat di dunia. Kemacetan adalah salah satu masalah besar disana, karena itu Hyperloop akan mentransformasi wilayah itu.”
Rencananya, mereka juga akan mengeksplorasi kemungkinan sistem transportasi yang menghubungkan pulau Jawa dan Sumatera. Apabila diimplementasikan, Sulaksono memperkirakan konstruksi sistem hyperloop pertama di Indonesia ini akan menelan biaya sedikitnya 20 juta dolar per kilometer.
“Kelihatannya mungkin mahal. Tapi (bandingkan) dengan kalau membangun fast railway transportation, itu hampir 80 juta dolar,” tambah Dwi Putranto.
Sementara itu, pengamat transportasi yang berbasis di AS, Joshua Schanks memperingatkan biayanya mungkin jauh lebih besar.
“Sistem ini butuh banyak perizinan untuk melewati kawasan metropolitan, bahkan bila dibangun di atas jalan seperti jalur kereta api, yang lazim bagi pembangunan transportasi kota. Akan ada banyak biaya untuk izin dan untuk melawan berbagai gugatan karena orang tak mau sistem ini melewati tempat tinggal mereka,” kata Joshua.
Dwi Putranto Sulaksono berharap kemungkinan kendala semacam itu bisa dihindari dengan melibatkan berbagai pihak – termasuk pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN serta swasta.
“Makanya kita libatkan semua. Kalau bersinggungan dengan sebuah kepentingan, kalau mereka diberikan sebuah pemahaman, kalau mereka terlibat, dapat manfaat, dan bisa melihat sebuah perubahan mendasar yang akan memajukan mereka. Why not?,” tambahnya.
Dia berharap sistem hyperloop bisa diwujudkan di Indonesia dalam waktu kurang dari sepuluh tahun. Hyperloop adalah angkutan masa depan yang disebut-sebut sebagai moda transportasi kelima setelah kapal, mobil, kereta api dan pesawat terbang.
Hyperloop digambarkan sebagai struktur tabung bertenaga surya yang akan bisa mengangkut penumpang atau barang dengan kecepatan melebihi 1.200 kilometer per jam. Bandingkan dengan pesawat terbang yang kecepatan rata-ratanya 900 kilometer per jam.
Konsep hyperloop digagas tahun 2013 oleh Elon Musk, sosok di balik Tesla Motors dan SpaceX. Musk menyebut hyperloop sebagai moda transportasi "yang lebih aman, lebih cepat, lebih murah, lebih nyaman, tahan cuaca, tenaga swadaya yang berkelanjutan dan tahan gempa.”
Namun Musk tidak mengimplementasikannya, melainkan melemparkan konsep ini kepada publik untuk diwujudkan.
Selain HTT, hyperloop juga sedang dikembangkan oleh perusahan AS lain yaitu Hyperloop One. Mereka sama-sama berusaha menerapkan teknologi tersebut di berbagai negara. Beberapa kompetisi internasional juga telah digelar dengan mengundang partisipasi mahasiswa dari seluruh dunia untuk berlomba-lomba merancang sebagian teknologinya. [vm/ds]