Setelah delapan tahun melakukan pendekatan dengan 1,5 milyar warga Muslim dunia, yang disebutnya sebagai permulaan baru antara Amerika Serikat dan Islam, Presiden Barack Obama meninggalkan Gedung Putih dengan harapan yang tidak tercapai dan banyak pihak di dunia Muslim yang kecewa.
Obama tetap populer di seluruh dunia, dengan pencapaian kebijakan luar negeri yang mengesankan: persetujuan nuklir Iran pada 2015, normalisasi hubungan dengan Kuba, serta persetujuan iklim Paris yang bersejarah.
Tetapi pada saat dia menyerahkan kekuasaan kepada Presiden terpilih Donald Trump, Jumat (20/1), warisan Obama di Timur Tengah tidaklah bersinar, dan publik Muslim yang pada awalnya bersemangat kini diliputi kekecewaan akibat tidak terwujudnya janji-janji yang dibuatnya delapan tahun yang lalu.
“Saya tidak pernah melihat kekecewaan sebegitu besarnya terhadap seorang presiden Amerika dan kebijakannya, yang diungkapkan oleh rakyat di kawasan, baik orang awam maupun tokoh terkemuka,” kata Hisham Melhem, seorang penulis kolom opini di Al-Arabiya, yang menulis di Cairo Review.
Pada awal kepresidenannya, Obama menawarkan perdamaian kepada warga Muslim di seluruh dunia. Dia sangat mendukung gerakan pro-demokrasi pada 2011 atau gerakan yang dijuluki “Arab Spring.”
Tetapi dua tahun kemudian dia mendukung rezim militer di Mesir, dia melakukan intervensi militer di Libia pada 2011, serta gagal mencarikan solusi untuk konflik Palestina-Israel. Orang melihat apa yang dihasilkan Obama selama delapan tahun dan itu tidak positif, kata Mohammed Baharoon, direktur jenderal dari Dubai Public Policy Research Center. [jm]