Dalam jumpa pers di kantornya di Jakarta, Sabtu (25/5), Jose Rizal Jurnalis selaku pendiri dan Dewan Penasihat MER-C mengatakan berdasarkan laporan dan pantauan tim MER-C di lapangan, aparat keamanan menangani pengunjuk rasa dengan kekerasan dan senjata api.
Jose Rizal mengatakan aparat keamanan menembak anak kecil, mengejar demonstran hingga ke dalam masjid, menembak dalam jarak dekat, menembak orang yang sudah jatuh, tidak memakai meriam air terlebih dahulu tetapi langsung menembakkan gas air mata, menggunakan peluru karet dan peluru tajam.
Menurutnya, dalam demonstrasi tersebut, polisi terkesan menghalangi petugas medis melakukan evakuasi dengan melarang ambulans masuk ke daerah konflik. Selain itu, aparat keamanan juga menyerang ambulans dan tim medis.
Sebelumnya diberitakan polisi menyerang anggota tim medis dari Dompet Dhuafa di sekitar gedung Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) saat unjuk rasa pada 22 Mei.
Padahal, lanjut Jose Rizal, dalam Pasal 24 Konvensi Jenewa 1949 disebutkan personel medis yang secara eksklusif terlibat dalam pencarian, pengumpulan, pengangkutan, atau perawatan orang luka atau sakit, atau dalam pencegahan penyakit, staf yang secara eksklusif terlibat dalam administrasi unit medis dan perusahaan harus dihormati dan dilindungi dalam segala keadaan.
Bukti Peluru Tajam dan Peluru Karet
Pada kesempatan itu, Jose Rizal menunjukkan bukti peluru tajam dan peluru karet yang dipakai aparat keamanan dalam menangani demonstran. Namun dia menolak di mana dan kapan kedua barang bukti itu ditemukan.
Jose Rizal menegaskan korban yang meninggal dalam suatu demonstrasi akibat kekerasan, baik ditembak maupun dianiaya, merupakan kejahatan kemanusiaan. Sebab, menurut hukum internasional, dalam kondisi perang sekali pun, hak-hak warga sipil harus dilindungi. Anak-anak, perempuan, orang tua, dan tokoh agama tidak boleh diserang atau dibunuh. Rumah ibadah pun tidak bisa menjadi target serangan. Apalagi hanya demonstrasi yang berujung rusuh.
Jose Rizal menekankan aparat sedianya tidak menangani demonstran dengan gaya militer atau menggunakan kekerasan dan kekuatan berlebihan.
Oleh karena itu, MER-C berencana melaporkan kejahatan kemanusiaan terjadi selama rusuh 21-23 Mei itu ke Mahkamah Internasional.
"Kita tidak punya pretensi untuk politik praktis tapi ini adalah masalah kemanusiaan. Masalah kemanusiaan ini dihargai di mana-mana, oleh agama apapun, oleh bangsa manapun, tidak bisa kita melakukan hal-hal yang diluar yang sudah disepakati sebagai nilai-nilai kemanusiaan," kata Jose Rizal.
Ketika ditanya siapa yang akan dilaporkan ke Mahkamah Internasional, Jose Rizal belum mau menjawab. Ia hanya bilang biasanya yang bertanggung jawab adalah pengambil kebijakan dan komando. Namun dia menyerahkan hal tersebut kepada tim hukum MER-C.
Jose Rizal menegaskan rencana melaporkan rusuh 21-23 Mei ke Mahkamah Internasional bukan karena alasan sakit hati atau ada tim MER-C yang diserang, tetapi karena nilai-nilai kemanusiaan yang dilanggar.
KPAI Gali Data dan Informasi Korban Tewas
Ditemui VOA di kediaman Rayhan Fajri (16 tahun), salah seorang korban tewas akibat ditembak aparat keamanan, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Jasra Putra, mengatakan kunjungannya ke rumah mendiang untuk bertakziah sekaligus untuk menggali data dan informasi. Ia datang bersama Letnan Jenderal Sjafrie Sjamsoeddin dan purnawirawan TNI lainnya.
Rayhan Fajri tinggal bersama paman dan bibinya di Jalan Petamburan V, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Mereka menetap di sebuah rumah petak kecil di gang sempit, yang bahkan tidak muat untuk dilalui sepeda motor.
Menurut pihak keluarga, lanjut Jasra, Reyhan bukanlah peserta aksi unjuk rasa. Ketika rusuh berlangsung, Reyhan bersama-temannya yang sedang berkumpul membangunkan tetangganya sahur, berlari menuju lokasi. Di sana dia tertembak di bagian pelipis.
Namun Jasra menyerahkan kepada polisi untuk menyelidiki apakah Reyhan terkena tembakan peluru karet atau peluru tajam. Ia juga menyerukan polisi untuk segera menyelidiki anak-anak yang menjadi korban kerusuhan.
Sejauh ini, menurutnya, sudah tiga anak (berumur 15, 16, dan 17 tahun) yang menjadi korban tewas dalam kerusuhan 21-23 Mei. Di RS Tarakan saja terdapat 25 anak yang dirawat akibat luka kena tembakan gas air mata dan peluru karet.
"Sikap kita tentu menyayangkan, terkait kerusuhan ini. Tentu kita sayangkan kalau sekiranya ada kelalaian dari pihak keamanan terkait perlindungan anak. Namanya anak-anak, kalau melihat keramaian pasti tertarik melihat itu. Kita duga tidak ada kehati-hatian ke sana," ujar Jasra.
Jasra menambahkan KPAI masih mengumpulkan data dan informasi untuk kemudian memutuskan perlu tidaknya membentuk tim investigasi khusus atau bergabung dengan tim penyelidikan yang dibentuk oleh polisi.
Tindak Tegas Personel yang Langgar SOP
Kepolisian Indonesia menegaskan pihaknya profesional dalam menangani aksi demonstrasi dan kerusuhan pada 21- 22 Mei. Jika ada anggota kepolisian yang terbukti melanggar standar operasional prosedur saat mengamankan kericuhan di sejumlah titik di Jakarta pada 22 Mei, menurut Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri Brigjen Dedi Prasetyo, pihaknya tidak segan-segan mengambil tindakan tegas.
Gubernur Jakarta Anies Baswedan mengungkapkan kerusuhan pada 21-23 Mei tersebut menewaskan delapan orang dan melukai 737 orang lainnya, termasuk 79 orang cedera berat. Korban yang berusia 20-29 tahun berjumlah 294 orang, sementara 170 orang lainnya berumur di bawah 19 tahun. [fw/em]