Tautan-tautan Akses

AS Bela Regulasi yang Wajibkan Divestasi TikTok


Bendera AS dan logo TikTok terlihat dalam sebuah ilustrasi yang diambil pada 2 Juni 2023. (Foto: REUTERS/Dado Ruvic)
Bendera AS dan logo TikTok terlihat dalam sebuah ilustrasi yang diambil pada 2 Juni 2023. (Foto: REUTERS/Dado Ruvic)

Departemen Kehakiman pada Jumat (26/7) malam menanggapi gugatan TikTok yang menentang regulasi yang mewajibkan platform tersebut melakukan divestasi atau jika tidak, maka akan dilarang beredar di AS.

Gugatan TikTok di pengadilan federal Washington tersebut menuduh undang-undang itu melanggar hak kebebasan berbicara yang dilindungi oleh Amandemen Pertama.

Tanggapan AS menyatakan bahwa undang-undang tersebut fokus pada masalah keamanan nasional, bukan kebebasan berbicara. Washington juga menegaskan bahwa ByteDance, perusahaan induk TikTok dari China, tidak memiliki klaim hak Amandemen Pertama di negara tersebut.

Pengajuan tersebut menjelaskan kekhawatiran bahwa ByteDance mungkin akan mematuhi tuntutan pemerintah China untuk mengakses data pengguna AS atau menyerah pada tekanan untuk menyensor atau mempromosikan konten di platform, kata pejabat senior Departemen Kehakiman dalam sebuah pengarahan.

"Tujuan undang-undang ini adalah untuk memastikan bahwa kaum muda, orang tua, dan semua orang di antaranya dapat menggunakan platform dengan cara yang aman," kata seorang pejabat senior departemen kehakiman.

"Dan menggunakannya dengan cara yang meyakinkan bahwa data mereka pada akhirnya tidak akan kembali ke Pemerintah China dan apa yang mereka tonton tidak diarahkan atau disensor oleh Pemerintah China."

Tanggapan tersebut menyebutkan bahwa fokus hukum pada kepemilikan asing TikTok menjadikannya tidak relevan dengan Amandemen Pertama.

Pejabat Departemen Kehakiman AS menyebutkan bahwa badan intelijen AS khawatir China dapat "memanfaatkan" aplikasi seluler sebagai senjata.

Seorang pejabat senior Departemen Kehakiman menyatakan, "Pemerintah China jelas telah berupaya selama bertahun-tahun untuk memperoleh data terstruktur milik warga Amerika melalui berbagai cara, termasuk aktivitas siber yang jahat, membeli data dari pialang data, dan membuat model AI canggih yang memanfaatkan data tersebut."

TikTok menyebut bahwa divestasi yang diminta "tidak mungkin dilakukan" dan tidak sesuai dengan tenggat waktu yang ditetapkan.

Seorang pria membuka aplikasi media sosial TikTok di ponselnya, 21 Juli 2020. (Foto: AP)
Seorang pria membuka aplikasi media sosial TikTok di ponselnya, 21 Juli 2020. (Foto: AP)

RUU yang ditandatangani Presiden Joe Biden pada awal tahun ini menetapkan tenggat waktu hingga pertengahan Januari 2025 bagi TikTok untuk menjual ke pembeli non-China atau menghadapi larangan di AS.

Gedung Putih dapat memperpanjang batas waktu hingga 90 hari.

"Untuk pertama kalinya dalam sejarah, Kongres memberlakukan undang-undang yang mengatur larangan permanen di seluruh negeri terhadap satu platform media sosial, serta melarang warga Amerika untuk berpartisipasi dalam komunitas daring global dengan lebih dari satu miliar pengguna," menurut gugatan TikTok dan ByteDance.

ByteDance menyatakan tidak berniat menjual TikTok, sehingga gugatan ini—yang kemungkinan akan dibawa ke Mahkamah Agung AS—menjadi satu-satunya cara mereka untuk menghindari pelarangan.

Gugatan tersebut menegaskan, "Undang-Undang ini akan memaksa penutupan TikTok paling lambat 19 Januari 2025, yang akan membungkam pengguna yang berkomunikasi secara unik di platform ini."

TikTok pertama kali menjadi sasaran pemerintahan mantan presiden Donald Trump, yang mencoba melarangnya, tetapi gagal. [ah/ft]

Forum

XS
SM
MD
LG