Kementerian Luar Negeri Indonesia merespons penetapan sanksi yang dijatuhkan Kantor Pengendalian Aset Asing (OFAC) kepada lima warga Indonesia terkait pendanaan (Negara Islam Irak dan Suriah) ISIS.
Direktur Hak Asasi Manusia Kementerian Luar Negeri Achsanul Habib, Kamis (12/5) mengatakan pada prinsipnya apa yang dikeluarkan pemerintah Amerika berada di wilayah hukum Amerika. Berdasarkan sanksi itu, aset kelima WNI itu di Amerika dibekukan, dan mereka dilarang memasuki wilayah Amerika.
"Dalam konteks ini, Indonesia biasanya tidak ikut patuh pada sanksi unilateral. Kita akan mengikuti apa yang dilakukan PBB. Kita memperoleh kabar Amerika akan membawanya juga pada mekanisme PBB. Kita tunggu saja bila itu menjadi sebuah proses," ujar Achsanul.
Seandainya PBB mengadopsi sanksi itu tersebut, katanya, maka Indonesia siap bekerja sama dengan PBB untuk memproses langkah selanjutnya. Namun, apabila PBB menolak, Indonesia akan menjalankan proses hukum sendiri di dalam negeri terhadap kelima WNI itu berdasarkan hukum dan ketentuan yang berlaku.
Dalam siaran persnya pada Senin (9/5), OFAC menyebutkan kelima warga Indonesia tersebut adalah Muhammad Dandi Adhiguna, Rudi Heryadi, Ari Kardian, Dini Ramadhani, dan Dwi Dahlia Susanti. Dari kelima orang itu, hanya Rudi dan Ari diketahui masih berada di Indonesia, sementara Dandi dan Dini berada di Kayseri, Turki, dan Dahlia di Idlib, Suriah.
Kepolisian Indonesia telah menyatakan dua dari lima WNI yang ditetapkan Amerika itu, yakni Ari Kardian dan Rudi Heriadi, merupakan mantan narapidana terorisme (napiter). Ari pernah dinyatakan bersalah karena memfasilitasi pengiriman orang ke Suriah., dan ia sudah dua kali diproses hukum. Rudi adalah simpatisan ISIS yang pernah tinggal di Suriah, dan pernah divonis 3 tahun 6 bulan penjara pada tahun 2019. Baik Rudi maupun Ari sama-sama sudah berstatus bebas.
Pengamat terorisme dari Universitas Indonesia Ridwan Habib menjelaskan pendanaan ISIS kini lebih mandiri dan lebih kreatif sehingga sulit dideteksi.
Sumber pendanaan kelompok itu termasuk infak, kotak amal, harta rampasan perang dan donor internasional. ISIS kini bahkan tak sungkan menyamarkan usaha penggalangan dananya sebagai kegiatan amal.
“Kalau financing luar negeri itu biasanya charity ya. Mereka mempunyai cara untuk menimbulkan simpati orang terhadap gerakan ini. Mereka memang menarget, tentu yang secara finansial mampu. Kalau Indonesia, biasanya targetnya justru TKI, TKW. Mereka diiming-imingi dengan akan membersihkan uang itu sehingga lebih barokah dan akan membuat rezekinya tambah banyak sehingga tergerak untuk menyumbang,” ungkap Ridlwan Habib.
Ridwan menegaskan operasi kontraterorisme harus terus dilakukan untuk membongkar sekaligus memutuskan jaringan pendanaan terorisme. [fw/ab]