Hubungan Amerika Serikat dan China semakin tegang sejak Juni, sewaktu Washington menetapkan tarif terhadap produk-produk impor penting dari Beijing dan China membalas perlakuan tersebut. Pemerintahan Trump menyatakan sedang berupaya mengatur kembali hubungan ekonomi dan strategis Amerika dengan China, dengan mendahulukan kepentingan Amerika. Koresponden VOA di Gedung Putih Patsy Widakuswara melaporkan tentang bagaimana pemerintah Amerika menghadapi China pada tahun 2018.
Produk-produk Beijing dipamerkan dalam pameran dirgantara baru-baru ini. Meskipun Amerika Serikat masih menduduki peringkat teratas dalam pengeluaran militer dunia, China juga telah melakukan belanja besar-besaran.
Nan Tian dari lembaga riset keamanan global SIPRI mengemukakan, "China telah meningkatkan belanja militernya hingga tahun ke-29 berturut-turut. Mereka adalah pembeli terbesar kedua dunia, dengan pengeluaran sekitar 228 miliar dolar.”
Pada awal masa jabatannya, Presiden Donald Trump berusaha menjalin hubungan dengan Presiden China Xi Jinping, dalam upaya membendung program nuklir Korea Utara.
Beberapa pekan setelah KTT bersejarah Amerika-Korea Utara, Amerika memberlakukan tarif pertama terhadap China, menuduh negara itu melakukan praktik-praktik perdagangan curang dan mencuri hak atas kekayaan intelektual. Beijing membalas dengan menerapkan tarifnya.
Bonnie Glaser dari lembaga kajian CSIS mengatakan, "Jadi fokus tahun ini benar-benar mengenai perdagangan dan ini telah menjadi ujian mengenai apakah hubungan kedua negara akan terus maju atau lebih bergerak ke arah yang semakin penuh perselisihan.”
Juga menjadi keprihatinan Washington adalah mengenai dipertahankannya kebebasan navigasi di Laut China Selatan. Kapal-kapal perang kedua negara yang hampir bertabrakan pada Oktober lalu menyoroti potensi konflik.
Vikram Singh, peneliti di US Institute of Peace mengemukakan, "Apa yang benar-benar dikhawatirkan Amerika adalah mengenai niat China. Dan dalam krisis, apa yang mungkin dilakukan China dengan kemampuan militernya yang kian berkembang dan dimilikinya di berbagai penjuru kawasan.”
Yang juga mencemaskan adalah strategi investasi asing besar-besaran China, yang disebut Prakarsa Sabuk dan Jalan.
Seorang warga Vietnam, Duong Thi Tan mengatakan, "Semakin banyak orang China yang datang ke Vietnam. Ini seperti invasi.”
Lebih dari satu triliun dolar dana China itu akan membantu menghubungkan hampir 70 negara, mengukuhkan pengaruh Beijing terhadap 62 persen populasi dunia.
Supawadee Chaithap, seorang warga Thailand bahkan mengatakan, "Akan lebih baik kalau kita berbicara dalam bahasa Mandarin, karena bisnis sekarang ini bergantung pada China.”
Untuk menandinginya, pada Oktober lalu Amerika membentuk suatu badan untuk memfasilitasi 60 miliar dolar dana pinjaman swasta untuk berbagai proyek di negara-negara berkembang.
Pada bulan itu juga, Wakil Presiden Amerika Mike Pence menuduh Beijing berupaya mencampuri politik dalam negeri Amerika, dan mengatakan pemerintahan Trump menggunakan strategi baru.
"Untuk mengatur kembali hubungan ekonomi dan strategi Amerika dengan China, untuk pada akhirnya mendahulukan kepentingan Amerika,” ujar Pence.
Pada KTT G-20, Trump dan Xi menyepakati gencatan perang dagang selama 90 hari. Sejak itu, China telah mengurangi tarif impor otomotif Amerika. Akan tetapi pada Desember ini, Beijing mengisyaratkan tidak akan mundur.
Presiden Xi Jinping mengemukakan, "Kita harus memiliki kegigihan yang seperti meninggalkan jejak tangan pada sepotong besi yang kita genggam, dan meninggalkan jejak kaki di batu sewaktu kita menginjaknya.”
Meskipun pembicaraan perdagangan memanas, pemerintahan Trump terus menekan apa yang disebutnya peretasan yang disponsori Beijing untuk mengambil alih kepemimpinan global dalam bidang teknologi, mengisyaratkan Amerika tidak berniat meredakan kecamannya terhadap China pada tahun mendatang. [uh]