Ketika pasukan Israel membombardir Hamas di Jalur Gaza, para pejabat tinggi di dunia mulai mengambil ancang-ancang mendiskusikan beragam skenario terkait masa depan Gaza jika Hamas berhasil digulingkan. Amerika Serikat (AS), Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Timur Tengah, dan seluruh dunia turut urun rembuk. Namun, ternyata tantangan yang mereka lihat ke depan sangat menakutkan.
Skenario-skenario tersebut di antaranya menempatkan pasukan multinasional di Gaza pasca konflik, dibentuknya pemerintahan administrasi sementara yang dipimpin oleh Palestina tanpa Hamas. Selain itu juga pembagian peran sementara di antara negara-negara Arab tetangga dalam masalah keamanan dan tata kelola, dan pengawasan sementara oleh PBB atas wilayah tersebut, menurut sumber yang mengetahui masalah ini.
Proses pembahasan skenario tersebut masih berada pada tahap yang disebut oleh sumber AS lainnya sebagai “tahap mengambangnya ide” yang bersifat informal. Pertanyaan kuncinya mencakup apakah Israel dapat menghancurkan Hamas seperti yang mereka janjikan dan apakah AS, sekutu Baratnya, dan pemerintah Arab akan mengerahkan personel militer untuk berdiri di antara Israel dan Palestina, menghapus keengganan yang sudah lama ada untuk melakukan hal tersebut.
Gedung Putih mengatakan pada Rabu bahwa “tidak ada rencana atau niat” untuk menempatkan pasukan AS di Gaza.
Ketika perdebatan mendapat momentum, otoritas kesehatan Gaza mengatakan lebih dari 9.000 orang tewas di wilayah yang terbentang sepanjang 25 mil, yang merupakan rumah bagi 2,3 juta warga Palestina. Lebih dari separuh penduduk Gaza mengungsi, rumah sakit penuh sesak, kekurangan listrik dan obat-obatan, membuat para korban luka tidak bisa pulang, dan di sisi lain, tempat pemakaman sudah penuh sesak.
Juga tidak jelas apakah Otoritas Palestina (PA), yang memiliki otonomi terbatas di wilayah pendudukan Tepi Barat sementara Hamas menguasai Gaza, akan mampu atau bersedia untuk mengambil alih. Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken pada Selasa (31/10) mengutarakan prospek “revitalisasi” PA. Namun pemerintahan Presiden Mahmoud Abbas saat ini terbelit tuduhan korupsi dan salah urus.
Entitas mana pun yang berupaya menerapkan otoritas di Gaza pascaperang juga harus menghadapi kesan di kalangan warga Palestina bahwa mereka terkait dengan Israel. Serangan Israel terhadap Hamas dilakukan sebagai pembalasan atas serangan dahsyat pada 7 Oktober yang menewaskan 1.400 orang di Israel selatan.
Sekalipun kepemimpinan Hamas digulingkan, mustahil untuk menghilangkan sentimen pro-militan dari penduduk Gaza, sehingga meningkatkan ancaman serangan baru, termasuk bom bunuh diri, terhadap siapa pun yang mengambil alih kekuasaan.
“Jika Israel berhasil menghancurkan Hamas, saya pikir akan sangat sulit untuk mendapatkan struktur pemerintahan yang sah dan berfungsi di sana,” kata Aaron David Miller, mantan perunding AS untuk Timur Tengah.
Diskusi-diskusi tersebut meningkat ketika Israel memperluas serangan udara, darat dan lautnya ke Gaza. Namun hal ini juga didorong oleh apa yang dilihat oleh para pejabat AS sebagai kegagalan Israel sejauh ini dalam mengartikulasikan sebuah tujuan akhir.
Membangun Gaza
Sejumlah pihak menyadari bahwa dibutuhkan bahwa bantuan internasional dalam jumlah besar untuk membangun kembali Gaza. Bantuan semacam itu hampir mustahil didapat dari pemerintah Barat selama Hamas masih berkuasa.
Beberapa saat sebelum berangkat pada Kamis dalam perjalanan ke Israel dan Yordania, Blinken mengatakan pertemuannya di wilayah tersebut tidak hanya membahas “langkah nyata” untuk meminimalkan kerugian terhadap warga sipil di Gaza, tetapi juga membahas masalah perencanaan pascaperang.
"Kami fokus pada hari ini. Kami juga harus fokus pada hari berikutnya," kata Blinken kepada wartawan. Landasan bagi perdamaian abadi, katanya, adalah jalan menuju negara Palestina, sebuah tujuan yang telah lama ditepis oleh Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.
Belajar dari Irak, Afghanistan dan Haiti
Para pejabat AS mengatakan secara pribadi bahwa mereka dan rekan-rekan Israel telah berbicara tentang pembelajaran dari kesalahan Washington dalam invasi ke Irak dan Afghanistan dan kurangnya persiapan untuk menghadapi apa yang akan terjadi selanjutnya.
Salah satu opsi yang dibahas oleh para pejabat AS adalah pembentukan kekuatan multinasional untuk menjaga ketertiban. Kekuatan multinasional tersebut bisa mencakup beberapa negara Eropa atau Arab, meskipun belum ada pemerintah yang secara terbuka menyatakan minatnya untuk bergabung dengan kekuatan tersebut.
Presiden AS Joe Biden, yang menarik militer Washington pada 2021 setelah bercokol selama dua dekade di Afghanistan, kemungkinan besar tidak ingin terlibat dalam aksi militer langsung dalam konflik luar negeri baru. Hal itu lantaran Biden mencalonkan diri kembali pada Pilpres 2024.
Beberapa analis kebijakan juga melontarkan gagasan untuk mengerahkan pasukan yang didukung PBB ke Gaza – baik pasukan penjaga perdamaian formal PBB, seperti yang dilakukan di perbatasan Israel-Lebanon, atau pasukan multinasional dengan persetujuan PBB.
Namun para diplomat mengatakan belum ada diskusi di dalam tubuh PBB mengenai langkah tersebut, yang memerlukan persetujuan di antara 15 anggota Dewan Keamanan PBB.
Misi serupa sering kali menghadapi rintangan besar. Pada Oktober 2022, Haiti meminta bantuan internasional untuk melawan geng kekerasan. Setahun kemudian, Dewan Keamanan PBB mengesahkan misi keamanan luar negeri, yang tertunda karena sulitnya menemukan negara yang bersedia memimpin misi tersebut. Kenya sudah mengambil langkah, tetapi Haiti masih menunggu kedatangan misi tersebut.
Yang memperumit masalah adalah Israel kemungkinan besar akan menentang peran Dewan Keamanan PBB apa pun, terutama setelah para pejabat Israel mengecam Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres karena mengatakan serangan Hamas pada 7 Oktober “tidak terjadi dalam ruang hampa.”
Israel memperkirakan perang akan berlangsung lama tetapi menegaskan mereka tidak tertarik untuk menduduki kembali Gaza.
Payung Regional
Para pakar di luar sana sedang mempertimbangkan seperti apa Gaza pascaperang.
Jika Hamas dapat dicabut dari “hak vetonya” dan Gaza mengalami demiliterisasi, “hal ini dapat membuka jalan bagi pembentukan pemerintahan sementara dengan pemerintahan teknokratis yang dipimpin Palestina yang beroperasi di bawah payung internasional dan/atau regional,” kata Dennis Ross, mantan negosiator Timur Tengah dan penasihat Gedung Putih.
Namun, katanya, hal itu akan memerlukan keterlibatan AS yang kompleks dengan Otoritas Palestina dan pemain-pemain utama lainnya yang memiliki kepentingan dalam menstabilkan Timur Tengah.
Namun, agar hal ini berhasil, Israel harus membatasi jangka waktu kehadiran militernya di Gaza atau badan pemerintahan baru mana pun akan kehilangan legitimasi di mata rakyatnya, kata Ross.
Sebuah artikel yang ditulis oleh Ross dan dua rekannya di Washington Institute for Near East Policy, mengusulkan bahwa setelah Israel menarik diri, keamanan di Gaza akan dipandu oleh "konsorsium lima negara Arab yang telah mencapai perjanjian damai dengan Israel - Mesir, Yordania , Uni Emirat Arab, Bahrain dan Maroko."
“Negara-negara Arab tidak akan melakukan tindakan apa pun untuk membunuh warga Palestina,” kata mantan perunding Miller, yang kini bekerja di Carnegie Endowment for International Peace di Washington. [ah/ft]
Forum