ADDIS ABABA —
Amerika mendukung misi militer yang dipimpin Afrika untuk memerangi kelompok militan terkait al-Qaida yang telah merebut wilayah di Mali utara setelah kudeta bulan Maret.
Amerika menyediakan dukungan logistik dan peralatan ke negara-negara yang ikut dalam operasi militer melawan kelompok militan itu, namun Departemen Luar Negeri Amerika mengatakan krisis politik di negara itu harus diatasi.
Wakil Asisten Menteri Luar Negeri Amerika untuk Urusan Afrika, Don Yamamoto, mengatakan kepada VOA, berdasarkan hukum, Amerika tidak bisa berbuat apa-apa sampai pemerintahan baru terbentuk di sana. “Seperti kita ketahui, Amerika tidak bisa memberikan bantuan apa pun kepada militer Mali, atau negara Mali, sampai sanksi-sanksi dicabut, yaitu terbentuknya pemerintahan dan Amerika bisa mencabut sanksi-sanksi itu,” paparnya.
Namun pemecahan politik nampaknya masih jauh, karena kelompok militan telah merebut wilayah luas di utara yang mengakibatkan ratusan ribu orang kehilangan tempat tinggal.
Yamamoto mengatakan, pelaksanaan pemilu adalah prioritas utama dan merupakan salah satu tantangan besar.
Amerika jadi pusat perhatian sehubungan tanggapannya terhadap krisis di Mali, karena Amerika adalah salah satu pendukung paling kuat bagi misi Uni Afrika di Somalia (AMISOM).
Amerika juga mendukung campur tangan militer Perancis di Mali, walaupun ada laporan mengenai ketegangan di antara kedua pihak mengenai tingkat keterlibatan Amerika, karena Perancis meminta dukungan logistik yang lebih besar.
Pesawat-pesawat tempur Perancis telah menyerang posisi-posisi pemberontak untuk membantu pasukan Mali, dan Perancis mengerahkan sekitar 3.000 tentara.
Pasukan militer yang dipimpin Afrika awalnya meminta 3.300 tentara dari negara-negara Afrika. Namun bertambahnya jumlah negara yang menjanjikan pengiriman tentara ke misi itu, mendorong Dewan Keamanan dan Perdamaian Uni Afrika meminta mandat yang lebih besar dan bantuan keuangan segera dari PBB.
Amerika menyediakan dukungan logistik dan peralatan ke negara-negara yang ikut dalam operasi militer melawan kelompok militan itu, namun Departemen Luar Negeri Amerika mengatakan krisis politik di negara itu harus diatasi.
Wakil Asisten Menteri Luar Negeri Amerika untuk Urusan Afrika, Don Yamamoto, mengatakan kepada VOA, berdasarkan hukum, Amerika tidak bisa berbuat apa-apa sampai pemerintahan baru terbentuk di sana. “Seperti kita ketahui, Amerika tidak bisa memberikan bantuan apa pun kepada militer Mali, atau negara Mali, sampai sanksi-sanksi dicabut, yaitu terbentuknya pemerintahan dan Amerika bisa mencabut sanksi-sanksi itu,” paparnya.
Namun pemecahan politik nampaknya masih jauh, karena kelompok militan telah merebut wilayah luas di utara yang mengakibatkan ratusan ribu orang kehilangan tempat tinggal.
Yamamoto mengatakan, pelaksanaan pemilu adalah prioritas utama dan merupakan salah satu tantangan besar.
Amerika jadi pusat perhatian sehubungan tanggapannya terhadap krisis di Mali, karena Amerika adalah salah satu pendukung paling kuat bagi misi Uni Afrika di Somalia (AMISOM).
Amerika juga mendukung campur tangan militer Perancis di Mali, walaupun ada laporan mengenai ketegangan di antara kedua pihak mengenai tingkat keterlibatan Amerika, karena Perancis meminta dukungan logistik yang lebih besar.
Pesawat-pesawat tempur Perancis telah menyerang posisi-posisi pemberontak untuk membantu pasukan Mali, dan Perancis mengerahkan sekitar 3.000 tentara.
Pasukan militer yang dipimpin Afrika awalnya meminta 3.300 tentara dari negara-negara Afrika. Namun bertambahnya jumlah negara yang menjanjikan pengiriman tentara ke misi itu, mendorong Dewan Keamanan dan Perdamaian Uni Afrika meminta mandat yang lebih besar dan bantuan keuangan segera dari PBB.