Presiden AS Joe Biden telah mengonfirmasi bahwa dia sedang mempertimbangkan lawatan ke Arab Saudi, Israel dan negara-negara lain di Timur Tengah, dan berbagai sumber mengatakan kunjungan itu kemungkinan tidak akan terjadi sampai paling cepat bulan depan. Para analis mengatakan upaya untuk mengakhiri perang di Yaman dan menurunkan harga minyak global kemungkinan akan menjadi topik utama.
Presiden AS Joe Biden mengejutkan sebagian pengamat Jumat (3/6), ketika dia mengatakan bahwa Gedung Putih sedang membuat rencana perjalanan ke Timur Tengah yang kemungkinan akan mencakup persinggahan di Israel dan Arab Saudi.
“Izinkan saya memberi tahu Anda bahwa saya telah terlibat dalam upaya bagaimana kita dapat membawa lebih banyak stabilitas dan perdamaian di Timur Tengah. Dan ada kemungkinan bahwa saya akan bertemu dengan pemimpin Israel dan pemimpin beberapa negara Arab pada saat itu, termasuk Arab Saudi, jika saya melakukan perjalanan, tetapi saya tidak memiliki rencana langsung saat ini,” jelasnya.
Para pakar mengatakan kepada VOA bahwa Presiden Biden telah menjaga hubungan dekat dengan Kerajaan Arab Saudi yang kaya minyak selama beberapa dekade, tetapi Biden sangat blak-blakan dengan kritiknya mengenai pelanggaran hak asasi manusia, terutama yang dilakukan oleh putra mahkota negara itu.
Bruce Riedel bekerja di lembaga kajian kebijakan Brookings Institution. Dia berbicara dengan VOA melalui Zoom.
“Saya pikir kejutan yang dirasakan oleh banyak orang adalah bahwa Joe Biden sebagai kandidat presiden ketika itu sangat keras terhadap Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman, yang lebih dikenal sebagai MBS, atas perannya dalam mendalangi pembunuhan Jamal Khashoggi di Istanbul, Turki, beberapa tahun lalu. Saat itu, Joe Biden mengatakan bahwa dia akan memperlakukan Arab Saudi sebagai paria (rendah derajatnya).”
Badan-badan intelijen AS telah menyimpulkan bahwa MBS berperan dalam mengatur pembunuhan Khashoggi, seorang penduduk tetap AS dan kolumnis untuk harian Washington Post. Putra Mahkota Mohammed bin Salman menyangkal bertanggung jawab atas pembunuhan itu.
Ditanya tentang keadaan hubungan bilateral sekarang, juru bicara Departemen Luar Negeri Ned Price mengatakan telah ada kemajuan besar selama 16 bulan terakhir. Dia memberikan contoh terjadinya gencatan senjata kemanusiaan di Yaman.
“Hubungan yang sekarang stabil. Ini adalah hubungan yang memungkinkan kami untuk mengedepankan, melindungi, mempromosikan kepentingan kami, sama seperti halnya kami terus menempatkan nilai-nilai paling penting yang juga dimiliki oleh negara-negara di seluruh dunia,” jelasnya.
Riedel mengatakan bahwa mengakhiri perang, penderitaan dan kelaparan di Yaman adalah prioritas penting bagi Presiden Biden.
“Tidak ada yang lebih penting dalam hubungan kita dengan Arab Saudi selain melanjutkan proses menuju solusi politik dan mengakhiri perang (di Yaman). Secara harfiah, presiden dapat menyelamatkan puluhan ribu nyawa jika dia dapat mempertahankan gencatan senjata ini dan mendorongnya lebih jauh menuju resolusi konflik politik,” komentar Riedel.
Kecemasan di dalam negeri dengan melonjaknya harga BBM juga merupakan pendorong besar bagi Biden untuk “mengkalibrasi ulang” hubungan dengan Arab Saudi, kata pakar lain.
Jonathan Katz bekerja di German Marshall Fund (lembaga kajian kebijakan publik pemberi hibah untuk menggalakkan kerja sama dan saling pengertian antara Amerika Utara dan Eropa). Dia berbicara dengan VOA melalui tautan Zoom.
“Jadi, presiden pasti akan fokus untuk pergi ke sana untuk berbicara tentang produksi minyak dan kemungkinan Arab Saudi meningkatkan produksinya untuk memenuhi permintaan global pada saat kita menyaksikan harga minyak yang tinggi,” jelas Jonathan Katz.
Para ahli mengatakan bahkan Arab Saudi sendiri tidak akan dapat menurunkan harga minyak, dengan ekspor minyak Rusia yang menurun karena negara-negara Eropa memangkas pembelian dari Moskow. [lt/uh]