Tautan-tautan Akses

AS: Penggunaan Senjata Israel Mungkin Langgar Hukum Internasional


Seorang bocah laki-laki berdiri di depan reruntuhan bangunan yang dihantam oleh serangan Israel di Rafah, di bagian selatan Jalur Gaza pada 8 Mei 2024. (Foto: AFP)
Seorang bocah laki-laki berdiri di depan reruntuhan bangunan yang dihantam oleh serangan Israel di Rafah, di bagian selatan Jalur Gaza pada 8 Mei 2024. (Foto: AFP)

Pemerintahan Biden, Jumat (10/5), mengungkapkan bahwa penggunaan senjata yang disuplai oleh Amerika Serikat (AS) kepada Israel selama operasi militer di Gaza mungkin melanggar prinsip-prinsip hukum internasional terkait hak asasi manusia (HAM). Hal tersebut merupakan kritik yang paling pedas yang diungkapkan Pemerintahan Biden terhadap Israel hingga saat ini.

Meskipun demikian, Washington menahan diri untuk memberikan penilaian yang pasti dan menjelaskan konteks kekacauan perang di Gaza. Washington tidak bisa memastikan kejadian spesifik di mana penggunaan senjata tersebut mungkin digunakan dalam kasus dugaan pelanggaran.

Penilaian tersebut disampaikan melalui sebuah laporan Departemen Luar Negeri AS yang terdiri dari 46 halaman kepada Kongres yang dapat diakses oleh publik. Laporan tersebut didasarkan pada Memorandum Keamanan Nasional (National Security Memorandum/NSM) terbaru yang dikeluarkan oleh Presiden Joe Biden pada awal Februari.

Temuan tersebut berisiko semakin memperburuk hubungan Washington dengan Israel di tengah ketidaksepahaman terkait rencana Israel untuk menyerang Rafah. AS sendiri berulang kali menyatakan ketidaksetujuannya atas tindakan militer itu.

Presiden AS Joe Biden bersama dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu di Tel Aviv, Israel, 18 Oktober 2023. (Foto: Reuters)
Presiden AS Joe Biden bersama dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu di Tel Aviv, Israel, 18 Oktober 2023. (Foto: Reuters)

Pemerintahan Biden menunda pengiriman satu paket senjata sebagai bagian dari perubahan kebijakan yang signifikan. Mereka juga menyatakan bahwa AS sedang melakukan peninjauan terhadap paket senjata lainnya, meski tetap mempertegas dukungan jangka panjang mereka terhadap Israel.

Dalam laporan Departemen Luar Negeri AS itu memuat sejumlah hal yang bertentangan. Dokumen itu mencatat banyak laporan kredibel tentang kerugian warga sipil dan mengungkap bahwa Israel awalnya tidak bekerja sama dengan Washington untuk meningkatkan bantuan kemanusiaan ke wilayah yang terkena dampak. Namun, untuk setiap kejadian, laporan menyebutkan tikan bisa membuat penilaian pasti apakah benar telah terjadi pelanggaran hukum.

“Mengingat ketergantungan Israel yang signifikan terhadap perangkat pertahanan buatan AS, masuk akal untuk menilai bahwa perangkat pertahanan yang tercakup dalam NSM-20 telah digunakan oleh pasukan keamanan Israel sejak 7 Oktober dalam kasus-kasus yang tidak sesuai dengan kewajiban Hukum Humaniter Internasional atau dengan praktik terbaik yang telah ditetapkan untuk memitigasi warga sipil,” kata Departemen Luar Negeri dalam laporannya.

"Israel belum memberikan data yang komprehensif untuk memverifikasi apakah pasal pertahanan AS yang tercakup dalam NSM-20 telah digunakan secara spesifik dalam tindakan yang dituduh sebagai pelanggaran Hukum Humaniter Internasional atau Hak Asasi Manusia Internasional di Gaza, maupun di Tepi Barat dan Yerusalem Timur selama periode yang dilaporkan," tulisnya.

Karena itu, pemerintah menyatakan bahwa mereka masih belum menerima jaminan yang kredibel dari Israel bahwa penggunaan senjata AS oleh mereka sesuai dengan hukum internasional.

Senator Demokrat Chris Van Hollen mengatakan pemerintah "menghindari semua pertanyaan sulit" dan menghindari melihat lebih dekat apakah tindakan Israel berarti penghentian bantuan militer.

"Ada ketidaksesuaian dalam laporan karena sementara menyimpulkan bahwa ada dasar yang kuat untuk meyakini terjadi pelanggaran hukum internasional, pada saat yang sama menyatakan bahwa tidak ada bukti pelanggaran yang ditemukan," jelasnya kepada para wartawan.

Asap mengepul setelah serangan Israel di Rafah. (Foto: Reuters)
Asap mengepul setelah serangan Israel di Rafah. (Foto: Reuters)

Lebih dari 34.000 warga Palestina tewas dalam serangan Israel ke Jalur Gaza sejak tujuh bulan lalu, kata para pejabat kesehatan di daerah kantong yang dikuasai Hamas. Perang dimulai ketika militan Hamas menyerang Israel pada 7 Oktober, menewaskan 1.200 orang dan menculik 252 orang lainnya, 133 di antaranya diyakini masih ditahan di Gaza, menurut penghitungan Israel.

Kerugian Sipil yang ‘Masif’

Perilaku militer Israel semakin mendapat sorotan seiring dengan melonjaknya jumlah korban tewas dan tingkat kehancuran di Jalur Gaza.

Pejabat AS di Departemen Luar Negeri memiliki pandangan yang bervariasi tentang isu ini. Reuters melaporkan pada akhir April bahwa pejabat dari setidaknya empat divisi di dalam departemen tersebut mengungkapkan keprihatinan yang serius terhadap tindakan Israel di Gaza, dengan memberikan contoh-contoh spesifik di mana negara tersebut mungkin telah melanggar hukum.

Pada akhir April, kelompok HAM Amnesty International menyatakan bahwa senjata yang disuplai oleh AS kepada Israel ternyata digunakan dalam "pelanggaran serius" terhadap hukum kemanusiaan dan HAM internasional. Mereka memberikan perincian kasus-kasus spesifik yang menyebabkan warga sipil tewas atau cedera, serta contoh-contoh penggunaan kekuatan mematikan yang melanggar hukum.

Laporan tersebut menyatakan bahwa pemerintah AS sedang meninjau sejumlah laporan yang menimbulkan pertanyaan tentang sejauh mana Israel mematuhi kewajiban hukumnya dan praktik terbaik dalam meminimalkan kerugian terhadap warga sipil.

Serangan-serangan tersebut termasuk serangan terhadap infrastruktur sipil, wilayah-wilayah padat penduduk, dan serangan-serangan lain yang menimbulkan pertanyaan apakah “kerusakan yang diperkirakan terjadi pada warga sipil mungkin terlalu besar dibandingkan dengan tujuan militer yang dilaporkan.”

Menurut laporan yang dirilis pada Jumat, setelah 7 Oktober, Israel disebut "tidak sepenuhnya bekerja sama" dengan upaya AS dan internasional lainnya dalam mengirimkan bantuan kemanusiaan ke Gaza. Meskipun demikian, dikemukakan bahwa hal ini tidak secara otomatis melanggar undang-undang AS yang mengatur penyediaan senjata kepada negara-negara yang menghambat bantuan kemanusiaan dari AS.

Warga Palestina bersiap untuk meninggalkan perkemahan tenda setelah pasukan Israel melancarkan operasi darat dan udara di bagian timur Rafah, di Rafah, di selatan Jalur Gaza, 10 Mei 2024. (Photo: REUTERS/Hussam Al Masri)
Warga Palestina bersiap untuk meninggalkan perkemahan tenda setelah pasukan Israel melancarkan operasi darat dan udara di bagian timur Rafah, di Rafah, di selatan Jalur Gaza, 10 Mei 2024. (Photo: REUTERS/Hussam Al Masri)

Laporan tersebut menyebutkan Israel telah melakukan sejumlah upaya untuk meningkatkan distribusi bantuan. Hal itu dilakukan usai Biden memperingatkan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu bahwa Washington akan menahan beberapa pengiriman senjata jika kondisi kemanusiaan tidak membaik.

Laporan tersebut menyatakan bahwa pelanggaran individu tidak langsung menghambat komitmen Israel terhadap hukum kemanusiaan internasional selama negara tersebut mengambil langkah-langkah untuk menyelidiki dan menuntut pertanggungjawaban atas pelanggarannya.

“Kekhawatiran Israel terhadap insiden semacam itu tercermin dalam fakta bahwa sejumlah penyelidikan internal sedang dilakukan,” kata laporan itu. Seorang pejabat senior Departemen Luar Negeri menegaskan bahwa belum ada investigasi yang mengarah pada penuntutan.

Laporan tersebut juga memberikan banyak contoh di mana banyak pekerja kemanusiaan tewas dan operasi militer dilakukan di wilayah yang dilindungi. Namun, sekali lagi laporan itu menyatakan bahwa mereka tidak dapat mencapai kesimpulan pasti apakah senjata AS digunakan dalam kejadian-kejadian tersebut. [ah/ft]

Forum

XS
SM
MD
LG