Para pejabat AS mengatakan Senin (15/8) bahwa 15 tahanan dari penjara Teluk Guantanamo di Kuba telah ditransfer ke Uni Emirat Arab, yang merupakan pemindahan terbesar tahanan Guantanamo dalam satu waktu selama pemerintahan Obama.
Pembebasan 12 warga Yaman dan tiga warga Afghanistan itu terjadi di tengah desakan untuk mengurangi jumlah tahanan di Guantanamo.
Departemen Pertahanan atau Pentagon mengatakan 61 tahanan masih berada di penjara Guantanamo.
Presiden Barack Obama menghadapi batas waktu mendesak untuk menutup penjara itu sebelum masa jabatannya berakhir karena ia berjanji untuk melakukannya ketika pertama kali terpilih.
Tapi ia menghadapi tentangan dari banyak anggota legislatif Partai Republik serta sesama rekannya dari Partai Demokrat.
Naureen Shah, Direktur keamanan dan hak asasi manusia dari Amnesty International di Amerika mengatakan terus dibukanya penjara Guantanamo memberi alasan pemerintah-pemerintah asing untuk mengabaikan HAM internasional.
“Itu memperlemah posisi pemerintah Amerika dalam perdebatan menentang penyiksaan dan penahanan tanpa batas waktu,” katanya.
Sementara, anggota DPR AS dari Partai Republik Ed Royce yang juga menjabat Ketua Komite Hubungan Luar Negeri, memperingatkan penutupan Guantanamo akan "membahayakan nyawa warga Amerika."
Senada dengan Royce, Profesor tamu Georgetown University R. Nicolas Palarino, dengan mengutip pernyataan menyangkut jihad yang disampaikan Senin oleh calon presiden dari Partai Republik Donald Trump dalam sebuah pidato juga mempertanyakan, apakah usaha untuk menutup Guantanamo merupakan langkah yang tepat.
Palarino mengatakan penelitian menunjukkan bahwa 25 persen dari mereka tahanan Guantanamo yang dibebaskan kembali melakukan kegiatan jihad. Donald Trump mengatakan, jika terpilih, ia tidak akan menutup Guantanamo. [my/sp]