Kota Denpasar di Bali memilih untuk tidak melakukan penutupan wilayah untuk mencegah penyebaran virus corona, seperti yang dilakukan oleh banyak pemerintah daerah lainnya. Untuk membatasi pergerakan masyarakat agar penyakit mematikan itu tidak meluas, salah satu upaya pemerintah kota Denpasar adalah mengajak masyarakat memaksimalkan internet untuk mendapatkan layanan dari pemkot.
Wali Kota Denpasar Ida Bagus Rai Mantra mengatakan penggunaan internet bisa meminimalkan kunjungan masyarakat ke kantor pemerintah. Mau tidak mau, perubahan itu mendorong pemkot Denpasar untuk mempercepat layanan daring.
“Layanan publik ini dari awal kami tidak menutup, tetapi kami menekankan untuk peningkatan kuantitas layanan secara online. Jika ada kepentingan, mereka baru datang ke kantor pelayanan,” kata Ida Bagus Rai Mantra.
Dengan pengawasan secara daring pula, Wali Kota Denpasar meminta seluruh ASN tidak meninggalkan kota di hari kerja. Para pegawai di daerah juga bekerja dalam sistem shift, dengan kewajiban untuk tetap bersiap dalam layanan.
Ida Bagus Rai mengungkapkan hal itu dalam seminar daring Agenda Kebijakan dan Pelayanan Publik di Era New Normal. Diskusi diselenggarakan Magister Administrasi Publik, Fisipol, UGM Yogyakarta dan Institute of Governance and Public Affairs (IGPA), Selasa (16/6).
Denpasar, seperti juga banyak daerah lainnya memiliki tantangan membuka kembali layanan menjelang kelaziman baru yang digaungkan pemerintah pusat. Apalagi, di tengah pandemi, peran pemerintah justru lebih diharapkan di tengah masyarakat.
Strategi Tak Pengaruhi Layanan
Diah Natalisa dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokasi (Kementerian PANRB) dalam diskusi yang sama mengatakan dari sisi layanan kepada masyarakat, prakarsa pemerintah daerah di masa pandemi diharapkan tidak berpengaruh terhadap kualitas kerja birokrasi
Kementerian PANRB, menurut Diah, telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor 58 Tahun 2020 yang memungkinkan adanya banyak penyesuaian. Untuk memaksimalkan kinerja, kata Diah, birokasi membutuhkan dukungan sarana/prasarana dan penyesuaian suasana kerja. Lembaga pemerintah dapat menyediakan kantor yang inovatif dengan desain menarik, agar pegawai dapat bertukar ide dengan rekannya dalam satu ruangan bersama secara fleksibel.
“Dalam pelayanan publik selama masa pandemi, setiap instansi perlu melakukan penyederhanaan proses bisnis dan SOP pelayanan dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi,” ujar Diah.
Pandemi ini, lanjut Diah, telah memaksa pemerintah melaksanakan transformasi pelayanan dari manual menjadi daring. Karena itu, perlu dipertanyakan bagaimana kesiapan setiap instansi melaksanakan kebijakan itu. Pelajaran penting dari pandemi ini, kata Diah, antara lain adalah perubahan perilaku dan budaya di lingkungan pemerintah. Karena keadaan pula pembukaan layanan online dimaksimalkan, berikut efisiensi anggaran, dan kebutuhan akan sinergi semua sektor dan inovasi baru.
Problem Kompleks Belum Teratasi
Bima Haria Wibisana, Kepala Badan Kepegawaian Negara mengatakan, ada banyak persoalan harus diselesaikan sebelum birokasi Indonesia memasuki kelaziman baru. Pertanyaan pokoknya adalah apakah sektor layanan publik akan mampu memenuhi standar kesehatan.
Dia menambahkan, kebijakan yang diterapkan berbeda-beda di setiap sektor layanan publik. Misalnya tentang penentuan waktu untuk membuka kembali layanan. Sektor pendidikan telah memutuskan untuk masuk sekolah baru akan dimulai pada Desember. Sektor lain, tentu memiliki pertimbangan berbeda sehingga waktu yang dipilih juga tidak sama.
Birokasi Indonesia juga memiliki kelemahan terkait kompetensi. Pandemi ini membuka kesempatan untuk melihat dengan cepat, seorang aparat sipil negara (ASN) mampu atau tidak menggunakan teknologi.
“Kalau yang muda tidak terlalu bermasalah, tetap bagi ASN yang sudah berusia agak lanjut, 50 tahun ke atas mungkin ini jadi masalah. Padahal ASN kita 60-70 persen adalah ASN yang telah berumur,” kata Bima.
Belum lagi beban infrastruktur pendukung, kata Bima. Tidak setiap ASN memiliki komputer sendiri di kantor. Begitu pula dia belum tentu memiliki peralatan serupa di rumah. Karena itu, program bekerja dari rumah menjadi persoalan bagi dirinya. Masalah semakin kompleks terkait kemampuan instansi menyediakan aplikasi, koneksi, dan alatnya.
Hati-Hati Melangkah
Pakar administrasi publik dari UGM, Wahyudi Kumorotomo meminta, pembukaan kembali layanan publik di era kelaziman baru dilakukan secara hati-hati.
Menurutnya ada beberapa alasan yang menjadi dasar. Pertama, adalah rendahnya tingkat pengujian terhadap orang yang tertular oleh virus. Kedua, belum terselenggaranya sistem pelacakan kontak (contact- tracing) yang sistematis bagi pasien yang positif. Ketiga, kemungkinan kasus Covid-19 di Indonesia yang tidak terlaporkan (under-reporting) masih sangat besar.
Beberapa strategi direkomendasikan oleh Wahyudi, antara lain sosialisasi protokol kesehatan, monitoring perilaku pengguna jasa, pelibatan publik untuk memperbaiki prosedur layanan dan memprioritaskan penggunaan teknologi bagi efisiensi layanan.
Tidak semua daerah, kata Wahyudi, dapat langsung masuk ke era kelaziman baru. Dalam sektor layanan publik, dia meminta ada sensitivitas yang tajam terhadap fakta lapangan. Pemerintah juga sebaiknya menerapkan langkah ini secara bertahap sesuai prioritas.
“Pelayanan yang utama dengan memprioritaskan bidang yang memiliki penularan rendah tetapi memiliki dampak ekonomi tinggi,”ujarnya.
Pemerintah juga harus melakukan bio surveilans secara konsisten. Monitoring dan evaluasi kebijakan dilakukan secara cermat, rutin dan dengan kriteria yang selengkap mungkin. Dalam melayani masyarakat, kantor-kantor pemerintah juga bisa menerapkan sistem campuran, antara online dan offline. Prioritas utama dalam perpaduan ini adalah jaminan kesehatan bagi masyarakat maupun aparatur pemerintah sendiri. [ns/ft]