Atlet Olimpiade asal Uganda, Rebecca Cheptegei, meninggal dunia di rumah sakit di Kenya di mana ia dirawat karena menderita luka bakar yang mencapai 80% dari tubuhnya akibat serangan yang dilakukan oleh pasangannya, ujar pihak rumah sakit mengonfirmasi pada Kamis (5/9). Cheptegei meninggal dunia dalam usia 33 tahun.
Juru bicara Rumah Sakit Pendidikan dan Rujukan Moi di Kota Eldoret, Owen Menach, mengatakan bahwa Cheptegei meninggal dunia pada Kamis (5/9). Menach mengatakan pelari jarak jauh itu meninggal pada pagi hari setelah organ-organ tubuhnya gagal berfungsi. Ia telah dibius total sejak masuk rumah sakit.
Cheptegei berkompetisi dalam maraton putri di Olimpiade Paris kurang dari satu bulan sebelum serangan fatal tersebut terjadi. Cheptegei meraih posisi ke-44 dalam kiparhnya di Paris.
Ayahnya, Joseph Cheptegei, mengatakan kepada para wartawan di rumah sakit bahwa ia telah kehilangan seorang putri yang “sangat mendukung” dan berharap mendapatkan keadilan.
“Hingga saat ini, penjahat yang mencelakai putri saya adalah seorang pembunuh, dan saya belum melihat petugas keamanan melakukan apa pun,” kata sang ayah. “Pelaku masih bebas dan bahkan mungkin sudah melarikan diri.”
Komandan Polisi Trans Nzoia County, Jeremiah ole Kosiom, pada Senin (2/9) lalu mengatakan pasangan Cheptegei, Dickson Ndiema, membeli sekaleng bensin, menuangkannya ke tubuh sang atlet dan lalu membakarnya saat mereka berselisih pada hari Minggu (1/9). Ndiema juga mengalami luka bakar dan sempat dirawat di rumah sakit yang sama.
Menach mengatakan Ndiema masih berada di unit perawatan intensif dengan luka bakar di lebih dari 30% tubuhnya tetapi kondisinya telah “membaik dan stabil.”
Orang tua Cheptegei mengatakan putri mereka membeli tanah di Trans Nzoia agar dekat dengan banyak pusat pelatihan atletik di Kenya. Sebuah laporan yang disampaikan kepala warga setempat mengatakan sebelum serangan itu terjadi, Cheptegei dan Ndiema terdengar berselisih tentang tanah tempat rumahnya dibangun.
Federasi Atletik Uganda mengenang Cheptegei di platform media sosial X, dengan menulis, “Kami sangat sedih dengan meninggalnya atlet kami, Rebecca Cheptegei, pagi ini, yang secara tragis menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Sebagai federasi, kami mengutuk tindakan tersebut dan menyerukan keadilan. Semoga jiwanya beristirahat dalam damai.”
Presiden Komite Olimpiade Uganda Donald Rukare menyebut serangan itu sebagai “tindakan pengecut dan tidak masuk akal yang menyebabkan meninggalnya seorang atlet hebat.”
Menteri Olahraga Kenya Kipchumba Murkomen mengatakan pemerintah akan menjamin keadilan bagi Cheptegei.
“Tragedi ini adalah pengingat bahwa kita harus melakukan lebih banyak hal lagi untuk memerangi kekerasan berbasis gender di masyarakat kita, yang dalam beberapa tahun terakhir telah muncul di kalangan elit olahraga,” tulisnya dalam sebuah pernyataan.
Ibu Negara Uganda Janet Museveni mengatakan bahwa kematian Cheptegei akibat kekerasan dalam rumah tangga “sangat meresahkan.”
Presiden Komite Olimpiade Internasional Thomas Bach juga ikut berkomentar di mana ia mengatakan, “Partisipasi Rebecca dalam maraton putri Paris 2024 merupakan sumber inspirasi, kebanggaan dan kegembiraan.”
Pada tahun 2023, atlet Olimpiade lari halang rintang asal Uganda, Benjamin Kiplagat, ditemukan tewas dengan luka tusuk. Pada tahun 2022, atlet Bahrain kelahiran Kenya Damaris Muthee ditemukan tewas dan laporan postmortem menyatakan bahwa dia dicekik. Pada tahun 2021, pelari jarak jauh Agnes Tirop tewas ditikam di rumahnya. Suaminya, Ibrahim Rotich, ditangkap dan didakwa melakukan pembunuhan, dan kasusnya masih bergulir hingga kini.
Tingkat kekerasan terhadap perempuan yang sangat tinggi di Kenya telah mendorong aksi unjuk rasa warga di kota-kota besar dan kecil pada tahun ini.
Menurut survei demografi dan kesehatan Kenya tahun 2022, empat dari 10 perempuan atau sekitar 41% perempuan Kenya yang berpacaran atau menikah pernah mengalami kekerasan fisik atau seksual yang dilakukan oleh pasangan mereka saat ini atau pasangan terbaru. [em/jm]
Forum