Di Kamboja, salah satu negara termiskin di Asia, pesatnya peningkatan konektivitas internet dan ketersediaan ponsel yang terjangkau, telah membantu meratakan akses komunikasi.
Dalam waktu singkat, kebanyakan dari sekitar 15 juta penduduk perkotaan dan pedesaan telah mendapatkan akses ke mobile internet dan media sosial, yang menyediakan komunikasi yang relatif bebas dan sumber informasi yang independen dan bukan dari pemerintah.
Beberapa aktivis Kamboja yang juga penggemar teknologi, seperti Ngeth Moses, mulai memanfaatkan internet untuk mendorong perubahan sosial beberapa tahun yang lalu.
Ngeth Moses, Kepala Unit Media / TIK dari Center for Alliance of Labor and Human Rights di Phnom Penh, telah berkampanye secara online melalui platform media sosial untuk kebebasan politik dan hak asasi manusia.
Ngeth Moses juga telah melatih puluhan anggota lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan organisasi pemuda tentang bagaimana menggunakan kampanye online dan platform online lainnya, seperti Open Cyber Talk.
Namun selama setahun terakhir ini, optimisme di kalangan para aktivis tentang dampak positif dari akses internet yang lebih besar telah memicu ketakutan, karena pemerintah Kamboja meningkatkan upaya untuk mengurangi kebebasan berekspresi dan oposisi politik secara online.
"Saya lebih berhati-hati sekarang sebelum mengunggah atau memberikan komentar mengenai isu politik secara online," kata Ngeth Moses, karena peningkatan pengawasan konten online oleh pemerintah. Pemberian peringatan dan penangkapan warganet oleh pemerintah juga marak.
Namun pada saat yang sama, Perdana Menteri Hun Sen dan Partai Rakyat Kamboja yang berkuasa (CPP), telah secara aktif meningkatkan profil online mereka menjelang pemilihan nasional tahun depan, dalam upaya menjangkau jutaan pengguna media sosial baru.
Perketat Kontrol
Pada awal 2016, pemerintah mengeluarkan sebuah undang-undang baru yang meningkatkan kewenangan atas industri telekomunikasi, termasuk "kekuasaan pengawasan sangat luas”, yang merupakan "ancaman terhadap privasi pengguna individual," menurut lembaga Freedom House di AS.
Undang-undang tersebut mencakup hukuman atas beberapa tindakan yang dianggap sebagai serangan, antara lain ancaman hukuman penjara 7 sampai 15 tahun untuk tindakan yang mengancam "keamanan nasional.” Dakwaan ini, menurut kelompok hak asasi manusia setempat, Licadho, tidak jelas dan terbuka terhadap penyalahgunaan politik.
Undang-undang kejahatan siber yang masih tertunda juga meningkatkan kekhawatiran tentang apa saja yang menurut batasan hukum boleh diunggah ke internet.
Pada tahun 2016, pengadilan menggunakan undang-undang yang lebih lama untuk menghukum pembangkang di internet Pada saat itu, pemerintah menggunakan aturan hukum tersebut untuk menjatuhi hukuman 18 bulan penjara kepada mahasiswa Universitas Kong Raiya dengan tuduhan melakukan penghasutan karena sebuah unggahan di Facebook yang mengkritik CPP.
Partai oposisi, Partai Penyelamat Nasional Kamboja (CNRP), telah berkali-kali menjadi target karena pernyataan-pernyataan yang diunggah ke internet.
Senator Hong Sok Hour dijatuhi hukuman 7 tahun penjara karena diduga mengunggah dokumen palsu di Facebook pada 2016. Pada 25 Oktober, Raja Norodom Sihamoni memberikan pengampunan atas permintaan Hun Sen.
Bulan lalu, seorang penjual buah berusia 20 tahun ditangkap di Kamboja barat dan dilaporkan didakwa menghasut dan melakukan penghinaan di depan umum karena unggahannya di Facebook dianggap mencemarkan nama baik Hun Sen dan Ibu Ratu, Norodom Monineath Sihanouk.
"Situasi kebebasan internet di Kamboja semakin mengkhawatirkan," kata Ramana Sorn, yang mengkoordinasikan Proyek Perlindungan Kebebasan Fundamental dari Pusat Hak Asasi Manusia Kamboja. Dia menambahkan bahwa kemampuan teknologi pemerintah untuk mengumpulkan data komunikasi dan media sosial dari pengguna individual telah berkembang pesat.
"Dalam iklim politik saat ini, pengguna media sosial harus sangat sadar akan risiko yang terkait dengan apa yang mereka unggah dan bagikan di Facebook dan platform web lainnya," kata Ramana Sorn.
Nop Vy, direktur media Pusat Media Independen Kamboja, mengungkapkan keprihatinan yang sama, dengan mengatakan, "Hak asasi manusia dan pekerja sosial yang menggunakan platform media sosial merasa tidak aman dalam mengkomunikasikan dan menerbitkan informasi mereka."
Pemerintah Menepis Kekhawatiran
Juru Bicara pemerintah mengatakan kepada VOA Khmer bahwa kritikan dari para aktivis, dibesar-besarkan dan tuntutan hukum atas konten online hanya dikenakan pada mereka yang mencemarkan nama baik orang lain atau menimbulkan ancaman nyata.
"Kami membutuhkan beragam pendapat, namun kami tidak menginginkan pendapat dari mereka yang menghina atau mengorganisir kampanye subversif kampanye melawan reputasi orang lain. Mereka akan menghadapi konsekuensi hukum," kata Phay Siphan, Juru Bicara Dewan Menteri.
"Hanya mereka yang punya agenda tersembunyi yang khawatir mengenai hal itu," kata Juru Bicara CPP, Sok Eysan. "Mereka yang tidak punya sesuatu yang disembunyikan, mereka tidak perlu kuatir diawasi atau dimonitor."
Beberapa penertiban media online yang terjadi di Kamboja pada September:
• Surat kabar berbahasa Inggris independen berusia 24 tahun, The Cambodia Daily, ditutup setelah menerima tagihan pajak sebesar 6 juta dolar
• Kantor berita Radio Radio Free Asia berbahasa Khmer di Phnom Penh ditutup;
• Stasiun radio FM lokal diperintahkan untuk berhenti menyiarkan berita berbahasa Khmer oleh RFA dan berita dari Voice of America; beberapa stasiun FM independen ditutup;
• Dan Institut Demokratik Nasional yang didanai AS diusir setelah bertahun-tahun beroperasi.
Penertiban ini dipandang sebagai yang terburuk dalam 20 tahun, hingga memicu kritikan internasional dan ancaman dari Uni Eropa dan Amerika. Namun Kamboja, yang bergantung pada dukungan politik China, tampak bergeming. [aa/fw]