Dalam rapat pengambilan keputusan yang berlangsung di kompleks parlemen di Senayan, Jakarta, Rabu (8/12), Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyetujui Rancangan Undang-undang (RUU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual menjadi RUU inisiatif DPR.
Dari sembilan fraksi yang menghadiri rapat pleno itu hanya Fraksi Partai Keadilan Sejahtera yang menolak dengan alasan dapat melegalkan perzinaan.
Hasil keputusan rapat dibacakan oleh Ketua Badan Legislasi DPR Abdi Supratman Agtas.
"Ada tujuh fraksi yang menyetujui dan ada satu fraksi yang meminta untuk menunda, bukan berarti tidak menyetujui. Meminta waktu untuk menunda karena masih ada mendengarkan masukan dari publik, yakni Fraksi Partai Golkar. Satu fraksi menyatakan menolak, yakni Fraksi Partai keadilan Sejahtera. Dengan demikian saya ingin menanyakan kepada Bapak Ibu anggota Badan legislasi, apakah draf Rancangan Undang-undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Sesksual dapat kita setujui? Setuju," ujar Supratman.
Ubah Nama
Dalam laporannya, Ketua Panitia Kerja Rancangan Undang-undang (RUU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang sekaligus Wakil Ketua Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Willy Aditya menjelaskan berdasarkan kesepakatan panitia kerja maka draf beleid itu diubah dari RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Pengubahan nama itu dengan pertimbangan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual menjadi RUU tindak pidana khusus sehingga lebih efektif mengatasi kebuntuan hukum yang dialami oleh korban selama ini. RUU itu terdiri dari 12 bab dan 73 pasal.
"Rancangan undang-undang ini bertujuan untuk menindak dan merehabilitasi pelaku, menjamin ketidakberlangsungan kekerasan seksual, menangani perlindungan dan pemulihan korban, mencegah segala bentuk kekerasan seksual, dan mewujudkan lingkungan tanpa kekerasan seksual," kata Willy.
Willy menambahkan rumusan pengaturan tindak pidana dalam RUU tersebut meliputi pelecehan non-fisik, pelecehan fisik, pelecehan seksual berbasis elektronik, pemaksaan kontrasepsi yang dapat menghilangkan fungsi reproduksi untuk sementara waktu dan tetap, eksploitasi seksual yang dilakukan oleh individu dan korporasi.
Dalam penyampaian pandangan umum, Anggota Badan Legislasi DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Syamsurizal mengatakan pihaknya meminta RUU tersebut harus dirumuskan secara komprehensif berdasarkan falsafah Ketuhanan Yang Maha Esa, mengandung nilai-nilai keagamaan, prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab serta memperhatian budaya yang berlaku di Indonesia.
Menurut Selly Andriany Gantina, Anggota Badan Legislasi DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), kekerasan seksual yang marak terjadi di masyarakat sering dianggap kejahatan susila semata. Padahal fakta menunjukkan dampak kekerasan seksual terhadap korban sangat serius, menimbulkan trauma dan mungkin dialami seumur hidup.
Bahkan dalam beberapa kasus, kekerasan seksual mendorong korban melakukan bunuh diri.
"Peraturan perundang-undangan berkaitan dengan kekerasan seksual di Indonesia saat ini belum dapat dikatakan optimal dalam memberikan pencegahan, perlindungan serta memenuhi kebutuhan korban kekerasan seksual akan rasa keadilan," ujar Selly.
Karena itu, lanjut Selly, PDIP undang-undang mengenai kekerasan seksual sangat penting dalam menyelesaikan berbagai persoalan hukum dalam kekerasan seksual. Dia menegaskan partainya menolak segala bentuk kekerasan dan penyimpangan seksual.
Institut KAPAL Perempuan Apresiasi Keputusan Baleg
Ketua Institut KAPAL Perempuan Misiyah mengapresiasi keputusan Badan Legislasi yang menyetujui RUU Tindak Pidana Kejahatan Seksual sebagai RUU inisiatif DPR.
Dia merasa yakin pembahasan mengenai RUU Tindak Pidana Kejahatan Seksual nantinya akan berjalan dan tidak akan mandek.
"Harus menjadi perhatian supaya substansinya itu benar-benar membela korban dan mengadili para pelaku. Supaya undang-undang ini benar-benar menjadi undang-undang perlindungan bagi korban yang sekarang sungguh sangat-sangat membutuhkan perlindungan," tutur Misiyah.
Selain itu, Misiyah berharap undang-undang tersebut nantinya juga dapat melindungi pendamping korban karena selama ini juga ada kasus-kasus yang mengkriminalisasi para pendamping korban dalam upaya mereka mencari keadilan.
Dia menegaskan proses perlindungan terhadap korban kekerasan seksual ini harus dimulai dari proses pengaduan. Pengaduan harus mudah diakses dan tidak mengintimidasi korban. Korban juga harus didampingi psikolog karena kondisi korban rata-rata mengalami trauma, ketakutan dan depresi.
Bahkan, lanjutnya, ada korban yang merasa jijik dengan dirinya sendiri dan berujung pada menyakiti dirinya sendiri. [fw/em]